Puasa itu diwajibkan atas setiap Muslim yang telah akil baligh, mukim (berada di daerah asal) lagi mampu, serta terbebas dari penghalang, seperti haid dan nifas.
Tanda baligh itu dapat diketahui dengan salah satu dari tiga cirinya, yaitu keluar mani karena mimpi atau lainnya, tumbuhnya rambut pada seputar kemaluan dan berumur genap 15 tahun. Dan ada tanda keempat, bagi wanita adalah haid (menstruasi). Maka wanita yang sudah haid wajib berpuasa sekalipun di bawah umur 10 tahun.
Anak-anak dianjurkan berpuasa bila sudah mencapai usia 7 tahun bila memungkinkan (mampu); dan sebagian ulama menyebutkan bahwa apabila sudah mencapai usia 10 tahun lalu tidak berpuasa, maka anak itu dipukul, sebagaimana membiasakannya shalat.[1] Dan anak yang berpuasa tetap mendapat pahala, begitu pula kedua orang tuanya mendapat pahala pendidikan dan pengarahan yang mereka berikan kepada anaknya. Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz [Islamic phrases=”Radhiyallahu ‘anhu”]I[/Islamic], menuturkan tentang puasa Asyura` di kala puasa itu masih diwajibkan, “Kami membiasakan anak-anak kami berpuasa dan kami berikan ke-pada mereka mainan dari kapas; dan apabila salah seorang di antara mereka ada yang menangis karena minta makan, maka kami beri mereka kapas mainan itu hingga sampai waktu berbuka.”[2]
Sebagian orang ada yang lalai di dalam membiasakan putra-putrinya berpuasa, sampai ada di antara anak yang bersemangat untuk berpuasa dan mampu melakukannya, namun karena bapak dan ibunya berdalih sayang dan kasihan, mereka suruh anaknya berbuka (tidak berpuasa). Mereka tidak mengerti bahwa rasa kasihan yang sebenarnya itu adalah dengan membiasakan anak berpuasa. Allah [Islamic phrases=”Azza wa Jalla'”]D[/Islamic] berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang kayu bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6).
Dan seharusnya puasa putri kita pada awal masa balighnya mendapat perhatian kita, karena boleh jadi ia berpuasa di saat haid karena malu, lalu nanti ia tidak mengqadha` (mengganti)nya.
•Apabila seorang kafir masuk Islam atau seorang anak menjadi baligh, atau orang yang gila sadar kembali di siang hari Ramadhan, maka ia wajib menahan diri (dari makan dan minum) sepanjang sisa hari itu, karena mereka telah menjadi orang-orang yang berkewajiban melakukan puasa, dan mereka tidak berkewajiban untuk mengganti hari-hari sebelumnya, karena pada hari-hari sebelumnya itu mereka belum menjadi orang yang berkewajiban berpuasa.
•Orang yang gila (hilang akal) itu tidak terkena beban taklif. Tapi jika seseorang kadang-kadang gila (hilang akalnya) dan kadang-kadang ia sadar, maka ia wajib berpuasa di waktu sadarnya saja. Dan jika ia gila di siang harinya, maka puasanya tidak batal, sebagai-mana jika seseorang pingsan karena sakit atau lainnya (juga tidak batal), karena ia telah berniat puasa di saat ia sadar (berakal);[3] dan demikian pula hukumnya orang yang berpenyakit ayan.
•Barangsiapa meninggal dunia di tengah-tengah bulan Ramadhan, maka ia beserta para walinya tidak mempunyai kewajiban untuk menyempurnakan hari puasanya.
•Barangsiapa yang tidak mengetahui (karena bodoh) kewajiban puasa Ramadhan, atau tidak tahu bahwa makan atau bersetubuh di siang Ramadhan itu haram, maka menurut jumhur ulama, ia dimaklumi (dimaafkan) karena yang serupa dengannya juga dimaklumi, seperti orang yang baru masuk Islam, orang Muslim yang berada di negeri perang dan seperti orang yang hidup di tengah orang-orang kafir. Adapun seorang Muslim yang hidup di tengah kaum Muslimin dan tidak ada kesulitan baginya untuk bertanya dan belajar, maka orang itu tidak dimaklumi.
[1] Lihat, al-Mughni, 3/90.
[2] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1960.
[3] Majalis Syahr Ramadhan, Ibnu Utsaimin, hal. 28.