Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah
Al-Bukhari meriwayatkan dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبُّ إِلَى اللّٰهِ مِنْ هٰذِهِ الْأَيَّامِ، يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، وَلَا الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ؟ قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذٰلِكَ بِشَيْءٍ.
“Tidak ada hari-hari di mana amal shalih pada hari-hari itu lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari ini.” Yakni sepuluh hari (pertama Bulan Dzulhijjah). Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, (apakah) tidak juga jihad di jalan Allah (lebih utama)?” Beliau menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali seorang laki-laki yang keluar (untuk berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian dia tidak kembali dengan membawa sesuatu pun darinya (yakni mati syahid).”[1]
Hadits di atas menunjukkan bahwa amal pada sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah itu lebih dicintai oleh Allah daripada amal pada hari-hari lainnya tanpa ada pengecualian sedikit pun. Dan apabila hal itu lebih dicintai oleh Allah, maka berarti hal itu lebih utama di sisiNya. Hadits di atas juga diriwayatkan dengan lafazh lain,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَفْضَلُ مِنْ أَيَّامِ الْعَشْرِ.
“Tidak ada hari-hari di mana amal shalih pada hari-hari itu lebih utama daripada sepuluh hari (pertama) Bulan Dzulhijjah.”[2]
Apabila amal pada sepuluh hari (pertama) Bulan Dzulhijjah itu lebih utama dan lebih dicintai oleh Allah daripada amal pada hari-hari lainnya dalam setahun, maka amal pada waktu tersebut -walaupun pada asalnya tidak utama- menjadi lebih utama daripada amal pada waktu selainnya walaupun amal tersebut asalnya utama. Oleh karena itu, mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, (apakah) tidak juga jihad di jalan Allah (lebih utama)?” Beliau menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Allah.” Kemudian beliau mengecualikan satu macam jihad yang merupakan jihad yang paling utama. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Jihad apakah yang paling utama?” Beliau menjawab,
مَنْ عُقِرَ جَوَادُهُ وَأُهْرِيْقَ دَمُهُ.
“Barangsiapa yang kudanya disembelih dan darahnya ditumpahkan.”[3]
Adapun jenis jihad yang lainnya, maka amal pada sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah adalah lebih utama dan lebih dicintai oleh Allah ta’ala daripadanya. Demikian juga amal-amal lainnya. Ini menunjukkan bahwa amal yang tidak utama yang dilakukan pada waktu yang utama, nilainya disejajarkan dengan amal yang utama yang dilakukan pada waktu selainnya, bahkan lebih utama karena pahala dan ganjarannya dilipatgandakan.
Hadits Ibnu Abbas di atas menunjukkan dilipatgandakannya seluruh amal shalih yang dilakukan pada sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah, tanpa ada pengecualian sesuatu pun darinya.
Diriwayatkan dalam kitab al-Musnad dan as-Sunan, dari Hafshah,
أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ لَا يَدَعُ صِيَامَ عَاشُوْرَاءَ، وَالْعَشْرَ، وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ.
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan puasa Asyura`, puasa sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah, dan puasa tiga hari dalam setiap bulan.”[4] Namun di dalam sanadnya terdapat perselisihan.
Dan diriwayatkan dari salah seorang istri Nabi,
أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ لَا يَدَعُ صِيَامَ تِسْعِ ذِي الْحِجَّةِ.
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan puasa sembilan hari pertama Bulan Dzulhijjah.”[5]
Di antara orang yang biasa berpuasa pada sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah adalah Abdullah bin Umar. Sebelumnya sudah dijelaskan tentang keutamaan puasa pada waktu tersebut, dan ia merupakan pendapat mayoritas para ulama atau banyak para ulama.
Sa’id bin Jubair, orang yang meriwayatkan hadits di atas dari Ibnu Abbas, apabila dia memasuki sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah, maka dia bersungguh-sungguh dengan suatu kesungguhan yang hampir tidak bisa dilakukan oleh siapa pun.
Adapun disunnahkannya banyak berdzikir padanya, maka itu ditunjukkan oleh Firman Allah ta’ala,
“Dan agar mereka menyebut Nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan.” (Al-Hajj: 28).
Karena sesungguhnya “hari-hari yang telah ditentukan” adalah sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah menurut mayoritas para ulama. Pembahasan tersebut akan diulas nanti, insya Allah.
Diriwayatkan dalam Musnad Imam Ahmad, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللّٰهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيْهِنَّ مِنْ هٰذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ، فَأَكْثِرُوْا فِيْهِنَّ مِنَ التَّهْلِيْلِ وَالتَّكْبِيْرِ وَالتَّحْمِيْدِ.
“Tidak ada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah dan tidak ada amal pada hari-hari itu yang lebih dicintaiNya daripada hari-hari yang sepuluh ini. Maka perbanyaklah membaca tahlil, takbir, dan tahmid padanya.”[6]
Juga diriwayatkan dari Yazid bin Abi Ziyad radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Saya melihat Sa’id bin Jubair, Mujahid, Abdurrahman bin Abi Laila, atau dua orang dari ketiga orang tersebut, dan kalangan ahli fikih yang kami lihat, pada hari-hari yang sepuluh tersebut mereka mengucapkan,
اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ.
‘Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah, dan Allah Mahabesar. Allah Mahabesar, dan bagi Allah-lah segala puji’.”
Ketika Allah telah meletakkan rasa rindu untuk menyaksikan Baitullah yang suci ke dalam hati orang-orang Mukmin, sementara tidak setiap orang mampu untuk menyaksikannya setiap tahun, maka Allah mewajibkan orang yang mampu melaksanakan ibadah haji sekali saja seumur hidupnya, dan Allah menjadikan hari-hari besar yang sepuluh tersebut bisa dirasakan bersama (manfaatnya) antara orang-orang yang datang ke Baitullah dan orang-orang yang tidak mampu datang ke sana. Barangsiapa tidak mampu melaksanakan ibadah haji dalam suatu tahun tertentu, maka dia mampu melaksanakan amalan-amalan di rumahnya pada hari-hari yang sepuluh tersebut, di mana amalan-amalan itu lebih utama daripada jihad yang lebih utama daripada haji.
Lalu jika ada yang mengatakan, “Sabda Nabi,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبُّ إِلَى اللّٰهِ مِنْ هٰذِهِ الْأَيَّامِ.
‘Tidak ada hari-hari di mana amal shalih (yang dilakukan) padanya lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini,’
apakah diutamakannya setiap amal shalih yang dilakukan pada suatu waktu dari hari-hari yang sepuluh itu menuntut diutamakannya amal tersebut atas seluruh amal shalih yang dilakukan pada waktu lainnya, walaupun durasi waktunya lama, ataukah tidak (menuntut hal tersebut)?”
Maka jawabannya, “Menurut zahirnya, wallahu a’lam, maksudnya adalah bahwa amal yang dilakukan pada hari-hari yang sepuluh ini adalah lebih utama daripada amal yang dilakukan pada sepuluh hari lainnya dari bulan apa pun itu, maka hadits di atas memberikan keutamaan pada amal yang dilakukan pada masing-masing hari tersebut atas amal yang dilakukan pada masing-masing hari dari hari-hari dalam setahun.”
Dan jika ada yang berpendapat, “Dengan diutamakannya amal yang dilakukan pada sepuluh hari ini atas sepuluh hari yang lainnya, mengandung konsekuensi bahwa puasa yang dilakukan pada sepuluh hari ini adalah lebih utama daripada puasa sepuluh hari Bulan Ramadhan, dan shalat malamnya juga lebih utama daripada shalat malam di sepuluh hari Bulan Ramadhan.” Maka jawabannya, “Adapun puasa Ramadhan, maka ia lebih utama daripada puasa pada sepuluh hari ini, tanpa ragu, karena puasa wajib itu lebih utama daripada puasa sunnah, tanpa ragu. Maka dengan demikian, yang dimaksud hadits di atas adalah bahwa amalan wajib yang dilakukan pada sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah ini lebih utama daripada amalan wajib yang dilakukan pada sepuluh hari lainnya. Dan bisa jadi shalat-shalat wajib yang dilakukan pada sepuluh hari ini dilipatgandakan pahalanya atas shalat-shalat wajib yang dilakukan pada sepuluh hari Bulan Ramadhan; dan amalan sunnah yang dilakukan pada sepuluh hari ini adalah lebih utama daripada amalan sunnah yang dilakukan pada sepuluh hari lainnya.
Mengenai shalat malamnya dan diutamakannya shalat malamnya atas shalat malam yang dilakukan pada sepuluh hari Bulan Ramadhan, maka pendapat yang tepat adalah apa yang dikatakan oleh sebagian tokoh kalangan ulama generasi belakangan, yaitu bahwa keseluruhan hari yang sepuluh ini (siang dan malamnya) adalah lebih utama daripada keseluruhan sepuluh hari terakhir Bulan Ramadhan, meskipun dalam sepuluh hari terakhir Bulan Ramadhan terdapat satu malam yang tidak ada satu malam pun yang lebih utama daripadanya (malam Lailatul Qadar), wallahu a’lam.
[Hari-hari Raya Umat Islam]
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, orang-orang Madinah memiliki dua hari di mana mereka biasa bermain-main pada kedua hari tersebut, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللّٰهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْرًا مِنْهُمَا، يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى.
“Sesungguhnya Allah telah memberi ganti (hari bermain) kalian dengan dua hari yang lebih baik daripada keduanya, yaitu hari Idul Fitri dan Idul Adha.”[7]
Maka Allah mengganti untuk umat ini dari dua hari bermain-main dan bersenda gurau menjadi dua hari dzikir, syukur, ampunan, dan pemberian maaf. Di dunia, kaum Mukminin memiliki tiga hari raya: satu hari raya yang berulang setiap minggu, dan dua hari raya yang datang setahun sekali, tanpa ada pengulangan di dalam satu tahunnya. Adapun satu hari raya yang berulang, yaitu Hari Jum’at yang merupakan hari raya mingguan, dan ia menyebabkan kesempurnaan shalat-shalat wajib, dan di dalam menghadiri Shalat Jum’at itu terdapat kemiripan dengan ibadah haji, dan diriwayatkan bahwasanya Shalat Jum’at merupakan hajinya orang-orang miskin.
Adapun dua hari raya yang tidak berulang pada tiap satu tahunnya, di mana masing-masing dari keduanya hanya datang setahun sekali; pertama, hari raya Idul Fitri dari puasa Ramadhan, dan ia menyebabkan kesempurnaan puasa Ramadhan yang merupakan rukun ketiga dari rukun-rukun dan bangunan-bangunan Islam. Kedua, hari raya penyembelihan (Idul Adha) yang merupakan hari raya yang paling agung dan paling utama di antara dua hari raya ini. Hari raya ini menyebabkan kesempurnaan ibadah haji yang merupakan rukun keempat dari rukun-rukun dan bangunan-bangunan Islam. Lalu apabila kaum Muslimin telah menyelesaikan haji mereka, maka dosa-dosa mereka akan diampuni. Ibadah haji ini hanya akan menjadi sempurna dengan keberadaan Hari Arafah dan wukuf di Arafah, karena ia merupakan rukun haji yang paling besar, sebagaimana Nabi a bersabda,
اَلْحَجُّ عَرَفَةُ.
“(Rukun utama) haji adalah (wukuf di) Arafah.”[8]
Hari Arafah adalah hari pembebasan dari api neraka, di mana pada hari itu Allah memberikan pembebasan dari api neraka bagi orang-orang yang wukuf di Arafah dan orang-orang yang tidak wukuf di sana dari kaum Muslimin yang tinggal di seluruh pelosok negeri. Oleh karena itu, hari berikutnya menjadi hari raya bagi seluruh kaum Muslimin di seluruh negeri mereka masing-masing, baik bagi yang mengikuti ibadah haji maupun yang tidak mengikutinya, karena mereka sama-sama mendapatkan pembebasan dan ampunan pada hari Arafah.
Ketika hari raya penyembelihan (Idul Adha) merupakan yang paling besar dan paling utama di antara kedua hari raya yang ada, serta berkumpul padanya keutamaan tempat dan waktu bagi orang-orang yang menunaikan ibadah haji, maka mereka memiliki hari-hari raya lain sebelum dan sesudahnya; sebelumnya adalah Hari Arafah, dan setelahnya adalah hari-hari tasyriq. Semua hari-hari ini merupakan hari raya bagi orang-orang yang menunaikan ibadah haji, sebagaimana disebutkan dalam hadits Uqbah bin Amir dari Nabi, beliau bersabda,
يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيْقِ عِيْدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ، وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ.
“Hari Arafah, hari penyembelihan, dan hari-hari tasyriq adalah hari raya kita, orang Islam, dan ia merupakan hari-hari makan dan minum.” Diriwayatkan oleh para penulis kitab as-Sunan, dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi.[9]
Oleh karena itu, tidak disyariatkan bagi orang-orang yang menunaikan ibadah haji untuk berpuasa pada hari Arafah, karena ia merupakan awal hari raya mereka dan tempat berkumpul mereka yang paling besar. Nabi a sendiri tidak berpuasa di Arafah, sedangkan orang-orang melihat beliau. Diriwayatkan dari beliau,
أَنَّهُ نَهَى عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَةَ.
“Bahwa beliau melarang berpuasa pada hari Arafah di Arafah.”[10]
Beberapa Keutamaan Hari Arafah:
Pertama, Hari Arafah merupakan hari disempurnakannya agama dan nikmat.
Kedua, diriwayatkan bahwa Hari Arafah merupakan hari yang paling utama, hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya yang bersumber dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَفْضَلُ الْأَيَّامِ يَوْمُ عَرَفَةَ.
“Hari yang paling utama adalah Hari Arafah.”[11]
Ini merupakan pendapat sejumlah ulama. Di antara para ulama ada juga yang berpendapat bahwa hari penyembelihan (Idul Adha) merupakan hari yang paling utama.
Hari Arafah merupakan hari Haji Akbar menurut sekelompok kalangan Salaf, di antara mereka adalah Umar dan lainnya. Namun ini ditentang oleh kelompok lainnya, dan mereka mengatakan, “Hari Haji Akbar adalah hari penyembelihan (Idul Adha).”
Ketiga, berpuasa pada Hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun (satu tahun sebelum dan setahun sesudahnya).
Keempat, Hari Arafah merupakan hari pengampunan dan pemaafan dosa-dosa, pembebasan dari api neraka, dan hari dibangga-banggakannya orang-orang yang sedang melakukan wukuf di Padang Arafah; sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللّٰهُ فِيْهِ عَبِيْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو، ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمُ الْمَلَائِكَةَ، فَيَقُوْلُ: مَا أَرَادَ هٰؤُلَاءِ؟
“Tidak ada hari di mana Allah lebih banyak membebaskan para hamba dari api neraka daripada Hari Arafah. Dan sesungguhnya Allah benar-benar mendekat, kemudian Dia membangga-banggakan mereka di hadapan para malaikat, lalu Dia berfirman, ‘Apa yang diinginkan oleh mereka?’.”[12]
[Sebab-sebab Mendapatkan Pembebasan dan Ampunan Pada Hari Arafah]
Barangsiapa berantusias meraih pembebasan dari api neraka dan pengampunan dosa-dosanya pada Hari Arafah, maka hendaknya dia menjaga sebab-sebab meraih pembebasan dan ampunan.
Pertama, berpuasa pada Hari Arafah. Disebutkan dalam Shahih Muslim, dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللّٰهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ.
“Puasa Hari Arafah, aku berharap kepada Allah agar puasa tersebut dapat menghapuskan (dosa-dosa) tahun sebelumnya dan tahun setelahnya.”[13]
Kedua, menjaga seluruh anggota badan dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan pada hari tersebut.
Ketiga, memperbanyak membaca kalimat tauhid dengan penuh keikhlasan dan kejujuran; karena ia merupakan pokok dan dasar agama Islam yang telah disempurnakan oleh Allah pada hari tersebut.
Disebutkan dalam al-Musnad, dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata, bahwa Doa yang paling banyak dipanjatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Hari Arafah adalah :
لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، بِيَدِهِ الْخَيْرُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.
‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. MilikNya kerajaan, dan milikNya segala puji, di TanganNya-lah segala kebaikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu’.”[14]
Keempat, banyak berdoa untuk mendapatkan ampunan dan pembebasan dari api neraka; karena doa pada hari itu sangat diharapkan untuk dikabulkan.
Dan hendaknya seseorang berhati-hati dari dosa-dosa yang dapat menghalanginya mendapatkan ampunan dan pembebasan dari api neraka, di antaranya:
- Kesombongan. Orang yang sombong adalah orang yang merasa dirinya besar dan angkuh. Allah berfirman,
“Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Al-Hadid: 23).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللّٰهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ.
“Sesungguhnya Allah tidak akan memandang orang yang menyeret pakaiannya karena sombong.”[15]
- Terus menerus melakukan dosa-dosa besar.
Tentang Hari-hari Tasyriq
Muslim telah meriwayatkan dalam Shahihnya, dari hadits Nubaisyah al-Hudzali radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيَّامُ مِنًى أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللّٰهِ.
“Hari-hari Mina (yakni hari-hari tasyriq) adalah hari-hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah .”[16]
Diriwayatkan oleh para penulis kitab-kitab as-Sunan dan al-Musnad, dari jalan yang banyak, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dalam sebagian jalannya disebutkan,
أَنَّ النَّبِيَّ بَعَثَ فِيْ أَيَّامِ مِنًى مُنَادِيًا يُنَادِي: لَا تَصُوْمُوْا هٰذِهِ الْأَيَّامَ، فَإِنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللّٰهِ.
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang penyeru pada hari-hari Mina untuk menyerukan, ‘Janganlah kalian berpuasa pada hari-hari ini; karena sesungguhnya ia merupakan hari-hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah r‘.”[17]
Hari-hari Mina adalah hari-hari yang telah ditentukan jumlahnya, sebagaimana difirmankan oleh Allah ta’ala,
“Dan berdzikirlah (dengan mengingat dan menyebut) Allah pada hari yang telah ditentukan jumlahnya.” (Al-Baqarah: 203).
Hari-hari Mina adalah tiga hari setelah hari penyembelihan (Idul Adha), yang disebut sebagai hari-hari tasyriq. Ini adalah pendapat Ibnu Umar dan mayoritas para ulama. Dan yang paling utama di antara ketiga hari tersebut adalah hari yang pertama, yaitu Hari al-Qarr (hari menetap); disebut demikian karena orang-orang yang berada di Mina menetap di sana dan tidak boleh keluar dari sana. Dan dalam hadits Abdullah bin Qurth, dari Nabi, disebutkan,
أَعْظَمُ الْأَيَّامِ عِنْدَ اللّٰهِ يَوْمُ النَّحْرِ ثُمَّ يَوْمُ الْقَرِّ.
“Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari penyembelihan (Idul Adha), kemudian hari al-Qarr (hari tasyriq pertama).”[18]
Kemudian yang paling utama setelah itu adalah hari Nafar Awwal, yaitu hari yang tengah dari ketiga hari tersebut (hari kedua), kemudian hari Nafar Tsani, yaitu hari terakhir dari ketiga hari tersebut (hari ketiga). Allah berfirman,
“Barangsiapa mempercepat (meninggalkan Mina) setelah dua hari, maka tidak ada dosa baginya. Dan barangsiapa mengakhirkan (keberangkatan)nya, maka tidak ada dosa (pula) baginya.” (Al-Baqarah: 203).
[Macam-macam Dzikir Yang Sangat Dianjurkan Pada Hari-hari Tasyriq]
Allah telah memerintahkan agar berdzikir kepadaNya pada hari-hari yang telah ditentukan jumlahnya ini, sebagaimana Nabi bersabda,
إِنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللّٰهِ.
“Sesungguhnya ia (hari-hari tasyriq) merupakan hari-hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah r.”
Dan dzikir kepada Allah yang diperintahkan untuk dibaca pada hari-hari tasyriq ada banyak macamnya:
Pertama, dzikir kepada Allah setelah shalat fardhu dengan bertakbir, yaitu setelah salam, dan ini disyariatkan sampai akhir hari-hari tasyriq menurut mayoritas para ulama.
Kedua, dzikir kepada Allah dengan membaca Tasmiyah (بِاسْمِ الله) dan takbir pada saat menyembelih hewan sembelihan; karena waktu menyembelih hewan hadyu dan hewan kurban adalah sampai akhir hari-hari tasyriq menurut sejumlah para ulama.
Ketiga, dzikir kepada Allah pada saat makan dan minum; karena yang disyariatkan pada saat makan dan minum adalah mengucapkan بِاسْمِ الله di awalnya dan mengucapkan اَلْحَمْدُ للهِ di akhirnya. Dalam suatu hadits dari Nabi disebutkan,
إِنَّ اللّٰهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الْأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا وَيَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا.
“Sesungguhnya Allah ta’ala benar-benar ridha terhadap seorang hamba apabila dia memakan makanan, lalu dia memuji Allah atasnya, dan meminum minuman, lalu dia memuji Allah atasnya.”[19]
Keempat, dzikir kepada Allah dengan bertakbir pada saat melempar jumrah di hari-hari tasyriq, dan ini berlaku khusus untuk orang-orang yang menunaikan ibadah haji.
Dalam perintah berdzikir pada saat selesai ibadah haji terdapat suatu makna khusus, yaitu bahwa ibadah-ibadah lainnya itu bisa habis waktunya dan berakhir, sedangkan dzikir kepada Allah tetap abadi, tidak habis waktunya, dan tidak berakhir, bahkan ia terus berlaku bagi orang-orang Mukmin di dunia dan akhirat.
Allah telah memerintahkan untuk berdzikir kepadaNya ketika selesai shalat. Allah berfirman,
“Maka apabila kalian telah menyelesaikan shalat, berdzikirlah (mengingat dan menyebut) Allah ketika kalian berdiri, pada waktu duduk, dan ketika berbaring.” (An-Nisa`: 103).
Dan Allah ta’ala berfirman tentang Shalat Jum’at,
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kalian di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya.” (Al-Jumu’ah: 10).
Dan dalam sabda Nabi,
إِنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللّٰهِ.
“Sesungguhnya ia (hari-hari tasyriq) merupakan hari-hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah”,
terdapat isyarat bahwa makan dan minum pada hari-hari raya digunakan untuk membantu diri agar dapat berdzikir dan taat kepada Allah, dan hal itu termasuk kesempurnaan rasa syukur atas nikmat Allah, yaitu mempergunakan nikmat Allah untuk melaksanakan ketaatan-ketaatan kepada Allah. Allah telah memerintahkan di dalam kitabNya agar makan dari makanan yang baik-baik dan bersyukur kepadaNya; maka barangsiapa mempergunakan nikmat-nikmat Allah untuk membantu dirinya melakukan kemaksiatan kepadaNya, maka sungguh dia telah mengingkari nikmat Allah dan membalas nikmat itu dengan kekufuran, dan orang seperti ini layak untuk diambil kembali nikmat yang diberikan kepadanya, sebagaimana dikatakan,
إِذَا كُنْتَ فِيْ نِعْمَةٍ فَارْعَهَا * فَإِنَّ الْمَعَاصِيَ تُزِيْلُ النِّعَم
وَدَاوِمْ عَلَيْهَا بِشُكْرِ الْإِلٰهِ * فَشُكْرُ الْإِلٰهِ يُزِيْلُ النِّقَمِ
Apabila engkau merasakan suatu kenikmatan, maka peliharalah kenikmatan itu
Karena sesungguhnya perbuatan-perbuatan maksiat itu menghilangkan kenikmatan-kenikmatan
Abadikanlah kenikmatan itu dengan bersyukur kepada Allah
Karena bersyukur kepada Allah itu menghilangkan hukuman-hukuman
Dinukil dengan adaptasi dari buku: WAKTU-WAKTU UTAMA & IBADAH-IBADAH YANG ISTIMEWA SEPANJANG TAHUN, Cet. II, Darul Haq, 2016.
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 969.
[2] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 6523.
[3] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 6753.
[4] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 25920 dan an-Nasa`i, no. 2416.
[5] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 25929 dan Abu Dawud, no. 2437.
[6] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 5423.
[7] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 11595; Abu Dawud, no. 1134; dan an-Nasa`i, no. 1556.
[8] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 889; an-Nasa`i, no. 3016; Ibnu Majah, no. 3015; dan Ahmad, no. 18297.
[9] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 16928; Abu Dawud, no. 2419; at-Tirmidzi, no. 773; dan an-Nasa`i, no. 3004.
[10] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 2440, ed.
[11] Shahih Ibni Hibban, 6/62.
[12] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1348.
[13] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1162.
[14] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 6922.
[15] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 5783 dan Muslim, no. 2085.
[16] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1141.
[17] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 10534.
[18] Takhrijnya telah disebutkan sebelumnya.
[19] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2734.