“Wahai anakku, tuntutlah ilmu, karena dengan ilmu, orang rendah akan menjadi mulia, orang yang malas akan menjadi pintar, dan budak akan melebihi derajat raja.”
Perkataan Sulaiman bin Abdul Malik di atas kepada putranya tentang masalah ilmu tidaklah berlebihan. Karena Atha’ bin Abi Rabah pada masa kecilnya adalah hamba sahaya milik seorang perempuan penduduk Makkah.
Akan tetapi, Allah Ta’ala memuliakan budak Habasyah ini, dengan meletakkan kedua kakinya semenjak kecil dijalan ilmu.
Dia membagi waktunya menjadi tiga bagian:
✅ Satu bagian untuk majikan perempuannya, di mana dia mengabdi kepadanya dengan sebaik-baik pengabdian dan memberikan hak-haknya dengan sempurna.
✅ Dan satu bagian dia jadikan untuk Tuhannya. Waktu ini dia gunakan untuk beribadah dengan sepenuh-penuhnya, sebaik-baiknya dan seikhlas-ikhlasnya kepada Allah Ta’ala.
✅ Dan satu bagian lagi dia jadikan untuk mencari ilmu. Dia banyak berguru kepada sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup, dan menyerap ilmu-ilmu mereka yang banyak dan murni.
Dia berguru kepada Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin az-Zubair dan sahabat-sahabat mulia lainnya Radiyallahu ‘anhum, sehingga hatinya dipenuhi ilmu, fikih, dan riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika majikan perempuannya melihat bahwa budaknya telah menjual jiwanya kepada Allah dan mewakafkan hidupnya untuk mencari ilmu, maka dia melepaskan haknya terhadap Atha’, kemudian memerdekakannya sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala, mudah-mudahan Allah menjadikannya bermanfaat bagi Islam dan kaum Muslimin.
Semenjak hari itu, Atha’ bin Abi Rabah menjadikan Masjidil Haram sebagai tempat tinggalnya, sebagai rumahnya yang merupakan tempat dia berteduh, sebagai sekolah yang dia belajar di dalamnya, dan sebagai tempat shalat yang dia bertaqarrub kepada Allah dengan penuh ketakwaan dan ketaatan. Hal ini membuat ahli sejarah berkata, “Masjidil Haram menjadi tempat tinggal Atha’ bin Abi Rabah kurang lebih dua puluh tahun.”
Sumber: PARA TABI’IN
Kisah Perjuangan & Keteladanan, Hal. 3-4, Penerbit Darul Haq