Allah [Islamic phrases=”Tabaraka wa Ta’ala”]F[/Islamic] berfirman,
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (Al-Bayyinah: 5).
FirmanNya yang lain,
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (Al-Hajj: 37).
Ibnu Abbas [Islamic phrases=”Radhiyallahu ‘anhuma”]L[/Islamic] berkata, “Artinya adalah bahwa yang dapat sampai kepada Allah adalah niat (dari orang yang melakukan hal itu).”
Dan nilai suatu perbuatan amat tergantung pada niat, barangsiapa yang baik niatnya, maka perbuatannya itu akan menjadi baik dan ia pasti teguh, terhindar dari kelemahan dan terhindar dari fitnah dalam keberagamaannya; dan ia akan terhindar dari kesesatan dan penyimpangan, sebagaimana Firman Allah [Islamic phrases=”Azza wa Jalla'”]D[/Islamic],
“Kecuali hamba-hambaMu yang ikhlas di antara mereka.” (Al-Hijr: 40).
Diriwayatkan bahwa Umar bin al-Khaththab [Islamic phrases=”Radhiyallahu ‘anhu”]I[/Islamic] berkata, Rasulullah [Islamic phrases=”Shallallahu ‘alaihi wa Sallam”]H[/Islamic] bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.
“Sesungguhnya pekerjaan-pekerjaan itu tergantung pada niat-niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan (ganjaran perbuatannya) sesuai dengan apa yang dia niatkan.” [1]
Imam an-Nawawi berkata, “Ini adalah hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya, dan disepakati sebagai satu di antara hadits-hadits yang kedudukan dan keutamaannya sangat besar serta merupakan salah satu di antara hadits-hadits yang menjadi dasar-dasar Islam.”[2]
Ikhlas adalah (di mana) pujian dan hinaan manusia sama nilainya di sisimu, dan kesepadanan antara yang lahir dan yang batin pada dirimu. Pada zaman ini keikhlasan merupakan barang langka (tidak ada yang memilikinya), kecuali bagi mereka yang dirahmati Allah, apa lagi di tengah kehidupan yang penuh tipu daya, lemahnya muraqabah (mawas diri) dan keyakinan. Saya tidak mengatakan bahwa keikhlasan telah lenyap, sehingga dengan begitu saya telah berdusta, akan tetapi untuk menuju kepada keikhlasan dibutuhkan kesungguhan dan latihan yang terus-menerus (mujahadah) dalam setiap amal perbuatan.
Suatu perbuatan jika telah dinodai dengan berbagai macam noda berupa riya` atau mencari kemasyhuran, maka sesungguhnya sikap itu akan menjadikan seseorang lemah dalam melaksanakan pekerjaan itu, bahkan pekerjaan itu akan menjadi sia-sia. Dari Abu Hurairah [Islamic phrases=”Radhiyallahu ‘anhu”]I[/Islamic], ia berkata, Aku mendengar Rasulullah [Islamic phrases=”Shallallahu ‘alaihi wa Sallam”]H[/Islamic] bersabda,
قَالَ اللّٰهُ: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِيْ غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ.
“Allah [Islamic phrases=”Azza wa Jalla'”]D[/Islamic] berfirman, ‘Aku paling sangat tidak membutuhkan kesyirikan, maka barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang dalam perbuatan itu ia memper-sekutukanKu dengan selain Aku, maka Aku akan meninggalkannya dan perbuatan syiriknya’.“[3]
Terkadang seseorang telah beriltizam atau bersikap konsisten hingga ia termasuk dalam golongan orang yang konsisten. Akan tetapi tujuannya bukan untuk konsistensi itu sendiri dan tidak pula bertujuan untuk mendapat ridha Allah, melainkan ia memiliki maksud-maksud lain yang dengan cepat akan menghancurkan sikap konsistennya itu, karena ia tidak mengharapkan Allah dan kehidupan akhirat.
Abu al-Qasim al-Qusyairi [Islamic phrases=”Rahimahumullah”]X[/Islamic] berkata, “Ikhlas itu adalah memusatkan niat dalam melaksanakan ketaatan hanya kepada Allah semata. Yaitu melakukan ketaatan dengan maksud hanya untuk taqarrub kepada Allah [Islamic phrases=”Azza wa Jalla'”]D[/Islamic], tiada maksud lain, seperti untuk mendapat perhatian, pujian manusia, atau tujuan-tujuan lain yang bukan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah [Islamic phrases=”Azza wa Jalla'”]D[/Islamic].”[4]
Sahal bin Abdullah at-Tasatturi [Islamic phrases=”Rahimahumullah”]X[/Islamic] berkata, “Ketika orang-orang bijak menafsirkan ikhlas, maka mereka tidak mendapatkan selain pengertian bahwa hendaknya bergerak atau berdiamnya seseorang dalam situasi terlihat ataupun tersembunyi adalah hanya karena Allah semata, tidak dinodai oleh hawa nafsu ataupun dorongan duniawi.”[5]
Maka barangsiapa yang mendambakan keselamatan di dunia dan di akhirat, maka hendaknya ia bersikap ikhlas dan terus-menerus mengawasi niatnya, karena hanya dengan sikap itulah suatu pekerjaan memiliki nilai ibadah; pekerjaan sedikit (kecil) yang disertai keikhlasan itu lebih baik daripada pekerjaan banyak yang hampa dari keikhlasan.
[1] Muttafaq ‘alaih.
[2] Al-Adzkar karya Imam an-Nawawi, hal. 6 –Pustaka al-Mu’ayyad– Riyadh.
[3] Diriwayatkan oleh Muslim.
[4] Al-Adzkar.
[5] Ibid. hal. 12.
Sumber : 31 Sebab Lemahnya Iman