* Kewajiban Meriwayatkan hadits-hadits yang Shahih Saja
Salah satu penyakit kronis yang sangat merusak di tengah masyarakat adalah tersebar luasnya banyak hadits-hadits dha’if bahkan maudhu’, sehingga akidah sebagian kaum muslimin bercampur dengan syubhat, dan ibadah bercampur dengan bid’ah. Maka demi mengikis semua itu, sudah saatnya kaum muslimin melakukan tindakan nyata, menyeleksi hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mendasari akidah dan ibadah mereka dengan yang shahih-shahih saja. Dan usaha menerjemahkan serta menerbitkan buku Shahih At-Targhib wa at-Tarhib ini, adalah salah satu usaha kami untuk ikut berbuat nyata dalam masalah yang penting ini.
Dalam mukadimah, Syaikh Nashirudin Al-Albani , mengulas masalah ini secara jelas dan dengan hujjah-hujjah yang kokoh sebagaimana biasanya seorang ulama Ahlus Sunnah. Beliau berkata, “Ketahuilah, semoga Allah memberi Anda taufik, bahwa setiap orang yang mampu untuk membedakan antara riwayat yang shahih dengan yang cacat, antara rawi yang tsiqah dengan rawi yang tertuduh, maka dia wajib untuk tidak meriwayatkan, kecuali apa yang diketahui kebenaran sumbernya dan kejujuran orang-orang yang meriwayatkannya. Dia harus menghindari apa yang bersumber dari orang-orang yang tertuduh dan para ahli bid’ah yang menyelisihi (kebenaran).”
Di tempat lain, Syaikh Al-Albani juga berkata, yang secara ringkas sebagai berikut, “Membedakan antara hadits yang tsabit dan tidak tsabit adalah wajib, karena ilmu yang merupakan hujjah Allah atas hambaNya hanyalah al-Qur`an dan as-Sunnah, tidak ada yang lain. Sementara as-Sunnah telah dimasuki oleh apa-apa yang bukan darinya; tentu untuk suatu hikmah yang diinginkan oleh Allah. Karena itu, berpijak kepada as-Sunnah secara mutlak dan menyebarkannya begitu saja tanpa membedakan atau melakukan penelitian, secara pasti akan menggiring kepada tasyri’ (membuat syari’at) yang tidak diizinkan oleh Allah. Maka orang yang melakukannya, layak untuk dikatakan telah terjerumus ke dalam sikap berdusta atas nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang sangat beliau larang, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits Samurah dan al-Mughirah ,
مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ، فَهُوَ أَحَدُ الْكَذَّابِيْنَ.
‘Barangsiapa menyampaikan sebuah hadits dariku di mana menurutnya ia adalah dusta, maka dia (yang menyampaikannya itu) adalah salah seorang pendusta’.
Ini diperjelas oleh hadits Abu Hurairah y, di mana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ.
‘Cukuplah dusta itu pada diri seseorang bahwa dia menyampaikan seluruh apa yang dia dengar’.
Itulah sebabnya Imam Ahmad dan Imam Ishaq bin Rahawaih berkata, ‘Jika seorang alim tidak mengetahui (tidak bisa membedakan antara) hadits shahih dan dha’if, yang menasakh dan yang dimansukh, maka dia tidak dinamakan alim’.
Dari sini menjadi jelas kelalaian kebanyakan penulis, lebih-lebih para khatib, pemberi nasihat atau penceramah dan para guru yang menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dengan menyampaikan apa saja tanpa rasa takut kepada Allah dan tanpa adab kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mana dia menukil hadits beliau, tidak membedakan mana yang tsabit dan mana yang tidak tsabit. Dengan sikap serampangan seperti itu seseorang telah lalai, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dengan kasih sayang beliau pada umatnya, telah mengingatkan dengan sabda beliau,
وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
‘Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempatnya di neraka’.” (Demikian al-Albani, secara ringkas).
Maka buku Shahih At-Targhib wa at-Tarhib ini menjadi sangat urgen di tengah masyarakat kita, Indonesia. Hal itu karena sebagaimana yang kita saksikan sendiri, bagaimana para guru, ustadz dan penceramah, di masjid-masjid, bahkan di berbagai media, dengan begitu sembarangan menyampaikan hadits, tanpa memperhatikan bahwa di antara hadits-hadits yang disampaikannya itu ada yang dha’if bahkan lebih parah dari dha’if.
* Tentang Beramal dengan hadits dha’if
Di antara manhaj ahli bid’ah adalah berpegang kepada hadits-hadits yang sangat lemah (dha’if jiddan) dengan berbagai macamnya. Padahal mendasari keyakinan dan amal dengan hadits-hadits seperti ini, sama sekali tidak pernah dinukil dari seorang ulama Ahlus Sunnah sekalipun. Pentingnya memilah hadits shahih dengan yang dha’if adalah agar kemurnian agama ini tetap terjaga dan tidak dicampuri uleh unsur-unsur yang bukan darinya.
Di sini barangkali seseorang akan berkomentar, “Kita sepakat bahwa kaum muslimin memang harus memilah hadits-hadits yang shahih untuk dijadikan landasan, tapi bagaimana dengan sebagian kaum muslimin yang lemah dalam keilmuan?
Jawab: Inilah yang dikatakan oleh ahlul ilmi, bahwa para ulama adalah hujjah atas kaum muslimin. Maka untuk mengetahui mana hadits yang shahih dan mana hadits yang dha’if, setiap kaum muslimin yang tidak mampu untuk mengkaji sendiri, maka dia harus kembali (merujuk) kepada para ulama hadits.
Dan inilah kedudukan penting buku ini, Shahih at-Targhib wa at-Tarhib, sehingga menjadi sangat penting untuk dimiliki setiap kaum muslimin dan menjadi rujukan primer bagi para ustadz dan penceramah, karena memuat hadits shahih, yang telah melalui kajian dan penelitian yang detil oleh seorang pakar hadits terkemuka abad ini. Dan seluruh kaum muslimin harus tetap ingat bahwa Agama Islam ini adalah wahyu; al-Qur`an dan as-Sunnah, dan bukan rumusan nalar manusia. Maka sebelum seorang ustadz menyampaikan pengajarannya atau ceramahnya, hendaklah terlebih dahulu membersihkan materi yang akan disampaikannya dari segala syubhat dan noda-noda bid’ah, dan hadits-hadits yang disampaikannya hanyalah yang shahih dan tsabit dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan inilah yang diungkapkan oleh al-Albani dengan istilah: at-Tashfiyah wat Tarbiyah.
* Menshahihkan dan mendha’ifkan hadits hendaklah dikembalikan kepada Ahli Hadits.
Poin ini tidak kalah penting dari dua poin sebelumnya, yaitu bahwa dalam memilah hadits yang shahih dari yang tidak shahih hendaklah dikembalikan kepada ulama ahli hadits. Ini penting untuk dikemukakan, karena untuk mencapai seorang yang bisa mengatakan, “Menurut saya hadits ini shahih atau dha’if”, bukanlah suatu yang mudah. Nah, buku kita ini adalah hasil studi seorang pakar hadits terkemuka di zaman ini, Syaikh Nashirudin al-Albani .
ISI BUKU SECARA UMUM:
Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap, karena mencakup akidah, ibadah, mu’amalah dan akhlak. Islam sangat intens dan konsisten dalam menyentuh komponen-komponen diri manusia; ruhani, akal, dan jasmani. Dan ketiga sisi manusiawi ini disentuh secara intens oleh hadits-hadits dalam buku kita ini.
Gambaran isi buku:
Saratnya muatan hadits buku kita ini bisa kita gambarkan sebagai berikut:
Jumlah judul kitab secara keseluruhan ada 28 Kitab.
Kitab ke 2 adalah: “Kitab as-Sunnah”. Kitab as-Sunnah ini memuat 3 bab. Bab 1 berjudul: “Perintah dan dorongan mengikuti al-Qur`an dan as-Sunnah”, dan memuat 12 hadits. Dan Bab 2 berjudul: “Ancaman meninggalkan as-Sunnah dan melakukan bid’ah”. Bab 2 ini juga memuat 12 hadits, yang intisari isinya adalah lebih kurang sebagai berikut:
- “Barangsiapa yang membuat-buat (ajaran) dalam Agama kami ini yang bukan darinya, maka ia tertolak.”
- “Sesungguhnya sebaik-baik kalam adalah Kalam Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad, sedangkan seburuk-buruk ajaran agama adalah ajaran baru yang dibuat-buat, dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan.”
- “Umat ini akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua di neraka dan hanya satu yang di surga, yaitu al-Jama’ah.”
- “Sesungguhnya aku takut menimpa kalian syahwat penyimpangan dalam perut dan kemaluan kalian, dan hawa nafsu yang menyesatkan.”
- “Perkara-perkara yang membinasakan itu adalah: Sifat pelit yang diikuti, hawa nafsu yang diperturutkan, dan ujub dengan diri sendiri.”
- “Sesungguhnya Allah menutup taubat dari setiap pelaku bid’ah hingga dia meninggalkan bid’ahnya.”
- Jauhilah ajaran-ajaran baru yang dibuat-buat, karena setiap bid’ah itu adalah kesesatan.”
- “Setiap amal memiliki masa-masa bersemangat, setiap masa-masa bersemangat juga akan dijangkiti oleh rasa jenuh; barangsiapa yang masa jenuhnya diarahkannya kepada sunnahku, maka dia telah meraih hidayah, dan siapa yang masa jenuhnya dia arahkan kepada selain itu, maka sungguh dia telah binasa.”
- Semakna dengan sebelumnya.
- “Siapa yang tidak suka kepada sunnahku, maka dia bukan dari golonganku.”
- “Sungguh aku telah meninggalkan kalian di atas agama yang terang, malamnya bagaikan siangnya; dan tidaklah ada yang sesat darinya kecuali orang yang binasa.”
- Dari Amr bin Zurarah, dia berkata, “(Suatu kali) sahabat Abdullah bin Mas’ud berdiri di depanku, ketika aku sedang bercerita (berdongeng), maka beliau berkata, ‘Wahai Amr, sungguh engkau telah membuat suatu bid’ah yang sesat’.”
Gambaran lain:
Kitab ke 3 adalah: “Kitab Ilmu”. Kitab Ilmu ini memuat 11 bab.
Bab 1: Anjuran mencari, mempelajari dan mengajarkan ilmu, serta keutamaan para ulama. Bab 1 ini memuat 17 hadits, yang secara ringkas sebagai berikut:
- “Siapa yang dikehendaki Allah kebaikan pada dirinya, maka Allah akan memahamkannya dalam Agama.”
- “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya ilmu itu diraih dengan belajar, dan sesungguhnya fikih itu diraih dengan mengkaji.”
- “Keutamaan ilmu lebih baik dari keutamaan ibadah.”
- “Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu rumah Allah dimana mereka membaca Kitab Allah di dalamnya dan saling mempelajarinya di antara mereka, melainkan para malaikat mengitari mereka, kedamaian turun pada mereka dan rahmat mengelilingi mereka serta Allah menyebut-nyebut (membanggakan) mereka di hadapan para malaikat yang berada di sisiNya. Siapa yang tertunda (meraih kebaikan) oleh ilmunya (yang tidak bermanfaat), maka dia tidak akan dijadikan cepat oleh nasabnya.
- “Barangsiapa yang menempuh suatu jalan demi mencari ilmu, niscaya Allah pasti memudahkan satu jalan ke surga baginya karenanya. Para malaikat akan menaungkan sayapnya untuk seorang penuntut ilmu karena ridha dengan apa yang dia lakukan. Orang yang alim (berilmu) dimohonkan ampunan oleh makhluk hidup yang ada di langit dan di bumi sampai bahkan ikan di air. Keutamaan seorang yang berilmu dibanding dengan seorang ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan dibanding bintang-bintang. Dan para ulama adalah pewaris para Nabi.”
- “Para malaikat mengelilingi dan memayungkan sayap-sayap mereka bagi seorang penuntut ilmu dimana mereka saling bertumpu satu dengan yang lainnya hingga mencapai langit dunia, karena sangat mencintai ilmu yang dituntutnya itu.”
- “Menuntut ilmu adalah fardhu (wajib) bagi setiap muslim.”
- “Tujuh perkara yang tetap akan mengalir pahalanya bagi pemiliknya di kuburnya setelah meninggal dunia, yaitu: mengajarkan ilmu, …”
- “Dunia ini terlaknat dan terlaknat pula apa-apa yang di dalamnya, kecuali berdzikir (mengingat dan menyebut) Nama Allah dan orang berilmu serta orang yang belajar ilmu.”
- “Tidak boleh iri kecuali pada dua jenis orang: orang yang dikarunia harta lalu dia membelanjakannya dalam kebenaran dan orang yang dikaruniai ilmu yang dia terapkan dan dia ajarkan.”
- “Hidayah dan ilmu yang aku bawa adalah bagaikan hujan yang mengguyuri bumi. Ada sebagian dari tanah yang baik yang dapat menyerap air dan menumbuhkan pepohonan dan rerumputan. Ada juga sebagian yang kering tetapi menahan air sehingga Allah mendatangkan manfaat dengannya bagi manusia dimana mereka dapat minum dan bercocok tanam darinya. Sementara itu ada tanah yang hanya bagaikan dataran licin yang tidak menyerap air sehingga tidak bisa menumbuhkan tanaman. Begitulah perumpamaan orang yang berilmu dalam Agama Allah dan mendapatkan manfaat dari ajaran yang Allah titahkan kepadaku dimana dia berilmu dan mengajarkannya, dan (perumpamaan) orang yang tidak menerima hidayah Allah yang dititahkan padaku.”
- “Di antara amal dan kebaikan yang akan mengikuti seorang mukmin setelah meninggal dunia, (salah satunya): ilmu yang telah diajarkannya, ….”
- “Apabila seorang manusia telah meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, (salah satunya): ilmu yang dapat diambil manfaatnya, ….”
- “Sebaik-baik yang ditinggalkan seorang muslim yang meninggal dunia ada tiga: (salah satunya): ilmu (yang diajarkannya) yang diamalkan setelahnya….”
- “Siapa yang pernah mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala orang yang mengamalkannya tersebut.
- Disebutkan kepada Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam seorang ahli ibadah dan seorang lainnya alim (berilmu), maka beliau bersabda, “Keutamaan yang alim itu dibandingkan yang ahli ibadah adalah seperti keutamaanku di banding orang yang paling rendah di antara kalian.”
- “Orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang-orang dimohonkan ampunan oleh segala sesuatu, hingga ikan-ikan di lautan.”
Sekali lagi, ini hanya intisari dari dua bab yang mudah-mudahan dapat menjelaskan pentingnya buku Shahih at-Targhib wa at-Tarhib ini. Buku kita ini, memuat 28 judul kitab, yang terbagi dalam bab-bab, yang secara keseluruhan memuat 3775 hadits tsabit (shahih).
KEUNGGULAN BUKU:
- Kami melengkapi dengan biograpi al-Hafizh al-Mundziri .
- Kami juga melengkapinya dengan biografi Imam al-Albani .
- Kami pun melengkapinya dengan daftar istilah ilmiah, baik yang berkaitan dengan ilmu hadits maupun lainnya; sehingga Anda dapat mencari dengan cepat makna istilah-istilah dalam disiplin ilmu hadits seperi: gharib, shahih, marfu’, mudallis, dan sebagainya, juga istilah-istilah ilmiah dalam ilmu syari’at pada umumnya.
Semoga usaha resensi kedua dari buku Shahih at-Targhib wa at-Tarhib ini lebih menambah kejelasan pentingnya buku ini bagi Anda semua, kaum muslimin.
Ya Allah, jadikanlah dedikasi kecil kami ini sebagai amal yang ikhlas karena mencari WajahMu semata, sehingga Engkau menjadikannya dalam timbangan kebaikan kami di hari kami akan berjumpa denganMu nanti.
Informasi & Pemesanan:
Klik : Pesan Buku Shahih Targhib
( Hanya selama jam dan hari kerja)
Telp: 021-84999585, Sms/Wa : 082 111 83 6767