Darul Haq

RESENSI BUKU PARA SAHABAT NABI Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Judul Asli : Shuwar Min hayat ash-Shahabah

Pemesanan, Klik Pesan Buku Para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

KEDUDUKAN PENTING TEMA BUKU

Tidak ada keraguan bahwa para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah generasi terbaik dari umat Islam. Tidak ada yang menyelisihi ijma’ para ulama ini, kecuali para pengikut hawa nafsu dan sekte-sekte sesat yang merusak di dalam tubuh umat Islam.  Bahkan terdapat satu rumusan baku dari para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah berbunyi: الصَّحَابَةُ كُلُّهُمْ ثِقَاتٌ عُدُلٌ (para sahabat semuanya adalah orang-orang yang kredibel dan adil). Prinsip dasar ini harus tertanam dalam hati setiap Muslim sehingga menjadi barometer dalam akidahnya; karena semua apa yang dibacanya, sikap orang yang dilihatnya dan sebagainya, harus diukur berdasarkan prinsip dasar ini. Dan ini akan terbukti kebenarannya dengan mengkaji isi buku Para Sahabat Nabi ini secara baik.

Ini sejalan dengan al-Qur`an, as-Sunnah dan akal sehat. Hal itu, karena Islam adalah agama terakhir, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah rasul terakhir, dan al-Qur`an adalah kitab suci terakhir yang Allah turunkan sebagai hujjah atas manusia. Karena itu, ia harus tetap terjaga hingga akhir zaman. Karena itu, para pengemban al-Qur`an, as-Sunnah dan Islam secara utuh, semuanya merupakan orang-orang yang tsiqah dan adil, adalah suatu keniscayaan. Dan tidak mungkin mereka semuanya murtad, sebagaimana yang dituduhkan oleh orang-orang Majusi pembohong; karena bila para sahabat semuanya murtad dan kafir kecuali beberapa orang saja, maka semua agama, al-Qur`an dan as-Sunnah yang diwariskan oleh kaum Muslimin tidak memiliki nilai, karena orang-orang yang menyampaikannya pertama kali dari Nabi a, adalah orang-orang tidak yang diterima. Inilah sebenarnya tujuan dasar orang-orang Syi’ah mengkafirkan para sahabat, agar Islam luntur di hati kaum Muslimin dan diganti dengan ajaran Majusi yang mereka sembunyikan di balik kedok cinta keluarga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Nah, mempelajari perjalanan hidup para sahabat dapat menepis semua itu dan mendatangkan banyak manfaat. Di antaranya:

  1. Mengambil ibroh dari jejak langkah mereka dalam beriman dan berislam yang telah menyebabkan mereka meraih predikat sebagai generasi terbaik.
  2. Memahami bentuk yang hidup dan riil dari konsep Islam dan Iman pada pribadi-pribadi mereka, karena setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, merekalah orang-orang yang paling gigih menjalankan agama Islam secara konsisten dan total.
  3. Agar kita menyadari secara baik bahwa merekalah yang patut menjadi figur kita kaum Muslimin, setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
  4. Agar semangat kita terus berkobar untuk agama ini, sebagaimana yang telah mereka lakukan.
  5. Mencontoh kegigihan para sahabat tersebut dalam mengaplikasikan sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
  6. Dengan menguasai sejarah hidup para sahabat, kita dapat memiliki bahan yang kuat untuk membela mereka dari keritikan dan cacian para pengusung ajaran setan dari para Majusi pendusta.
  7. dan lain sebagainya.

TENTANG ISI BUKU

Sebagaimana judulnya, buku ini memaparkan kisah 47 orang sahabat nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam perjuangan, pengorbanan, keteladanan dan sebagainya. Dan buku ini adalah salah satu karya tulis terbaik dalam menggambarkan keperibadian mereka.

Simaklah salah satu serpihan indah dari perjalanan mereka berikut, semoga Allah mendatangkan faidah bagi kita semua dengannya:

 Salman al-Farisi .

Beliau adalah orang Persia pertama yang masuk Islam. Beliau adalah di antara orang-orang yang paling setia menyertai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, paling gigih membela beliau dan paling teguh di atas Sunnah beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau sendiri yang menuturkan perjalanan beliau sendiri, yang kami sadur di sini secara ringkas.

Salman berkisah:

“Aku adalah orang Persia dari penduduk negeri Ashbahan, dari sebuah kampung bernama Jayy. Ayahku adalah kepala kampung tersebut. Aku adalah yang paling dia cintai, dan karena kecintaan yang berlebihan kepadaku, dia senantiasa mengurungku di dalam rumah seperti anak perawan dipingit.

Aku sangat tekun dalam mengamalkan agama majusi, hingga aku dijadikan sebagai penjaga api yang selalu menyalakannya dan tidak membiarkannya padam walau sesaat.

Ayahku memiliki ladang yang sangat luas. Suatu hari, dia sangat disibukkan oleh urusan sebuah bangunan miliknya, maka dia berkata kepadaku, “Nak! Hari ini aku sangat disibukkan oleh urusan bangunan ini hingga aku lupa memikirkan ladang. Pergi dan lihatlah! Dan bersama itu, ayahku itu juga menyuruhku menyelesaikan beberapa urusan lain. Akupun keluar dari rumah, untuk mulai bekerja. Dan sebelumnya, ayahku sempat berpesan, “Jangan pulang terlambat! Karena dirimu lebih penting bagiku dari pada sawah ladang itu. Dan jika kamu pulang terlambat, maka kamu akan lebih membuatku panik’.

Aku keluar menuju ladang. Dalam perjalanan, aku melewati sebuah gereja kaum Nasrani. Dari dalamnya aku mendengar suara mereka yang sedang melaksanakan ibadah mereka. Sebelum itu, aku sama sekali tidak pernah mengetahui keadaan orang-orang, karena ayahku memang selalu mengurungku.

Aku masuk menemui mereka dan menyaksikan secara langsung apa-apa yang mereka kerjakan, dan setelah melihat semuanya, aku benar-benar terkagum dengan ibadah mereka sehingga aku sangat tertarik untuk mengetahui tentang agama mereka lebih jauh. Dalam hati kecilku berkata, “Agama mereka ini jauh lebih baik dari agama yang kami anut”. Dan aku terus di sana dan tidak meninggalkan mereka hingga matahari terbenam. Sementara itu, aku melalaikan urusan ladang ayahku dan tidak jadi mendatanginya.

Aku lantas bertanya kepada mereka, “Di mana aku dapat mengenal agama ini lebih jauh?” Mereka menjawab, “Di negeri Syam”.

Aku kembali ke rumah, dan ayahku telah mengirim sejumlah orang untuk mencariku. Aku benar-benar telah membuatnya gelisah, hingga dia meninggalkan semua pekerjaannya. Sesampai di rumah, dia berkata kepadaku, “Anakku! Engkau dari mana?” Bukankah aku telah memerintahkanmu agar tidak pulang terlambat? Maka aku menceritakan semua yang aku saksikan tadi kepadanya. Maka ayahku berkata kepadaku, “Wahai anakku! Tidak ada kebaikan apapun pada agama mereka tersebut. Agamamu dan agama nenek moyangmu jauh lebih baik darinya”. Dan aku pun menimpalinya dengan mengatakan, “Demi Tuhan! Agama mereka itu lebih baik dari agama kita”. Karena hal itu, ayahku menjadi sangat mengkhawatirkanku dan langsung mengikat ke dua kakiku dan mengurungku lebih ketat.

Selang beberapa hari berlalu, aku mengirim pesan kepada orang-orang Nasrani itu: “Apabila ada kafilah dagang dari negeri Syam dari kalangan orang-orang Nasrani yang datang kepada kalian, maka kabarkanlah kepadaku”.

Tidak lama kemudian, datanglah sebuah kafilah dagang dari negeri Syam ke sana. Lalu aku berusaha melepaskan belenggu besi yang mengikat kakiku. Lalu aku ikut berangkat bersama mereka hingga sampai dinegeri Syam.

Setiba di sana, aku langsung bertanya: “Siapakah orang yang paling baik dalam mengamalkan agama Nasrani ini?” Mereka menjawab: “Uskup yang ada di dalam gereja itu”. Maka aku mendatanginya, dan mengatakan kepadanya bahwa aku sangat menyukai agama ini dan aku ingin bersama Anda untuk melayani Anda di gereja ini sambil belajar dan beribadah bersama Anda”.

Uskup itu berkata: “Silahkan masuk”. Maka aku pun masuk bersamanya. Akan tetapi terlihat bagiku bahwa ternyata uskup itu adalah seorang yang tidak baik; karena dia memerintahkan dan mendorong orang-orang untuk bersedekah, akan tetapi setelah mereka mengumpulkan dan menyerahkan sedekah itu kepadanya, dia menyimpan dan menumpuknya  untuk dirinya sendiri dan tidak membagikannya kepada orang-orang fakir miskin, hingga terkumpulah tujuh buah bejana besar-besar yang penuh berisi emas dan perak. Karena itu, aku tidak menyukainya. Tidak lama kemudian, uskup itu meninggal dunia. Maka orang-orang nasrani berdatangan untuk menguburkan jenazahnya. Lalu aku menyampaikan kepada mereka apa-apa yang aku saksikan darinya dan aku perlihatkan kepada mereka tujuh bejana besar yang penuh berisi emas dan perak tersebut, hingga mereka berkata: “Demi Allah, kami tidak akan menguburkannya”. Lalu mereka menyalibnya dan melemparinya dengan batu.

Mereka kemudian memilih seseorang lainnya untuk menggantikannya sebagai uskup. Sang pengganti ini adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih utama darinya, lebih zuhud darinya dalam urusan dunia, lebih semangat dalam menggapai akhirat dan lebih giat beribadah di siang dan malam hari darinya. Sungguh aku tidak mencintai sesuatupun seperti kecintaanku kepadanya. Dan aku terus menyertainya hingga kematian mendatanginya. Menjelang ajalnya tiba, aku berkata kepadanya: “Wahai fulan! Keputusan Allah telah datang menjemputmu sebagaimana yang engkau rasakan. Demi Allah aku sama sekali tidak mencintai seseorang sebagaimana cintaku kepadamu. Maka apa pesan terakhirmu untukku? Kepada siapa engkau mewasiatkanku?” Dia menjawab: “Wahai anakku! Demi Allah, aku tidak mengetahui ada seseorang yang layak kamu dampingi kecuali seseorang yang tinggal di Mosul. Pergilah kepadanya, karena sesungguhnya engkau akan mendapatkan darinya apa yang kamu dapatkan dariku.”

Setelah dia meninggal dunia dan dimakamkan, aku langsung berangkat menuju Mosul untuk mendatangi orang yang di maksud. Dan aku mendapatkan dia persis sebagaimana yang dikatakan oleh uskup yang kedua tersebut. Tetapi tidak lama kemudian, orang  itupun meninggal dunia. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, aku sempat bertanya kepadanya: “Apa wasiat terakhirmu untukku, dan kepada siapa engkau mewasiatkan aku?” Dia berkata: “Demi Allah anakku, aku tidak mengetahui ada seseorang yang layak untuk engkau ikuti kecuali seseorang yang berada di Nushaibin”. Setelah menguburkannya, aku langsung berangkat kepada orang yang dimaksud, dan juga menyertainya sambil belajar kepadanya hingga ajal juga datang menjemputnya. Sebelum meninggal, dia berwasiat kepadaku agar aku datang kepada seseorang yang tinggal di Ammuria di daerah kekuasaan romawi ketika itu. Maka aku berangkat kepadanya, dan di sana aku mendapatkannya sebagaimana teman-temannya. Dan di sanalah aku mulai hidup sambil belajar dan menggembala kambing dan sapi.

Setelah beberapa waktu berlalu, kematian juga datang menjemput orang itu. Aku bertanya kepadanya: “Kepada siapa engkau mewasiatkan aku?” Dia berkata: “Wahai anakku! Aku tidak mengetahui, apakah masih ada orang yang berpegang teguh kepada agama kita ini untuk engkau datangi. Akan tetapi sekarang telah tiba masa datangnya seorang nabi yang diutus oleh Allah di tanah haram. Tempat hijrahnya terletak di antara dua negeri berbatu hitam, yaitu di tanah yang berpasir yang banyak memiliki pohon kurma. Di tubuh nabi tersebut terdapat tanda berupa stempel kenabian yang jelas. Dia makan hadiah dan tidak makan sedekah. Jika engkau mampu untuk mendatangi negeri tersebut, maka lakukanlah, karena zaman nabi tersebut telah tiba.”

Tidak lama setelah itu melintaslah satu kafilah dari bangsa Arab, maka aku berkata kepada mereka: “Maukah kalian membawaku ke negeri Arab? Aku akan berikan kambing-kambing dan sapi-sapi milikku ini untuk kalian sebagai imbalannya.” Merekapun setuju, dan membawaku. Akan tetapi sesampai di lembah al-Qura, mereka menzhalimi dan menjualku sebagai budak sahaya kepada seorang yahudi di lembah itu. Demi Allah, di tempat itu, aku melihat pohon-pohon kurma tumbuh dengan suburnya dan aku berharap itulah negeri hijrah sang nabi tersebut.

Tidak lama kemudian datanglah seseorang dari Yahudi bani Quraizhah ke Lembah al-Qura tersebut dan membeliku dari tuanku, lalu dia membawaku hingga sampai di Madinah. Demi Allah, pada saat melihatnya, aku langsung mengetahui ciri-ciri tempat itu, bahwa itulah tempat hijrah sang nabi.

Sementara itu, Allah telah mengutus nabiNya sebagai Rasul di kota Makkah, dan tidak ada berita apapun tentangnya yang sampai kepadaku, karena aku telah menjadi seorang budak sahaya. Hingga kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tiba di Quba`, yaitu kota kecil sebelum mencapai kota Madinah, dalam perjalanan hijrah beliau yang terkenal dari Makkah. Ketika itu, aku sedang bekerja di kebun milik tuanku, di atas sebuah pohon, tiba-tiba seorang sepupu tuanku datang dan menyampaikan: “Wahai fulan! Semoga Allah membinasakan Bani Qilah (yakni, kaum Anshar dari Madinah). Demi Allah sekarang mereka berkumpul di Quba` menyambut seorang laki-laki yang datang dari Makkah yang mereka klaim sebagai seorang nabi”.

Demi Allah, mendengar hal itu, aku langsung lemas gemetar dan hampir jatuh menimpa tuanku. Aku pun langsung turun dan bertanya: “Berita apa itu yang kamu bawa?” Maka tuanku langsung nenamparku dengan keras dan menghardikku: “Apa urusanmu?”

Sore hari tiba, aku masih memiliki sedikit makanan, maka aku membawanya dan segera mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang ketika itu masih berada di Quba`. Aku bertanya kepada beliau: “Ada kabar sampai kepadaku bahwa Anda adalah orang shalih dan memiliki beberapa sahabat yang terasingkan. Aku memiliki sedikit sedekah dan aku lihat kalian lebih berhak mendapatkannya dari pada orang-orang di negeri ini. Ini, makanlah!” Akan tetapi beliau tidak memakannya dan hanya berkata kepada para sahabat beliau; “Makanlah kalian”. Maka aku berkata dalam hatiku: “Ini adalah salah satu tanda yang disebutkan oleh teman uskupku yang dulu itu”.

Aku lalu pulang dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melanjutkan perjalanan hingga tiba di kota Madinah. Beberapa hari kemudian, aku berhasil mengumpulkan sejumlah makanan dan aku pun datang menghadap kepada beliau, lalu aku katakan: “Saya melihat Anda tidak memakan sedekah, maka ini aku membawa hadiah makanan untuk Anda”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyantapnya bersama para sahabat beliau. Dalam hatiku berkata: “Ini adalah tanda kenabian yang kedua.”

Beberapa hari kemudian, aku datang menghadap kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang ketika itu sedang mengiringi jenazah bersama para sahabat beliau. Aku berusaha berputar mencari tahu tentang tanda kenabian di punggung beliau. Dan ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihatku berputar mencari tahu sesuatu, beliau melepaskan kain beliau dari punggung beliau, sehingga aku melihat langsung tanda kenabian di tubuh beliau tersebut. Maka aku langsung memeluk beliau sambil menangis.

Maka beliau bersabda: “Pindahlah!” maka aku pun berpindah ke samping beliau dan menceritakan semua perjalananku. Mendengar ceritaku, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabat sangat senang karenanya.

Ringkasnya, Salman kemudian berhasil membayar seumlah ganti rugi kepada tuannya dan akhirnya merdeka, sehingga menjadi salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang paling setia menyertai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mengambil ilmu dari beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Dalam pada itu, beliau menjelma menjadi seorang Mukmin sejati yang menyerahkan hidupnya demi perjuangan menegakkan risalah Allah, sebagai salah seorang yang paling gigih membela Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka semoga Allah meridhai Salman, salah seorang putra Persia terbaik yang pernah dilahirkan seorang perempuan.

Kisah Salman al-Farisi ini, kami angkat dalam resensi ini dengan harapan ada di antara orang-orang Majusi yang berkedok agama Syi’ah yang mendengarnya untuk mengambil pelajaran. Lihatlah bagaimana jujurnya perjalanan hidup Salman dalam mencari kebenaran, dan bersama itu beliau tidak pernah terdengar menjelek-jelekkan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lainnya sebagaimana yang dilakukan oleh para pengekor iblis dari kaum Majusi yang berpura-pura mencintai Ahlul Bait.

Ini adalah sepenggal kisah hidup yang sempat kami sajikan dari buku ini. Dan di dalam buku ini terhampar berbagai kisah indah dari 47 orang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam menjemput ridha dan cinta Allah Ta’ala. Setiap Muslim hendaklah berusaha membacanya, karena para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah figur-figur sejati dalam mengarungi kehidupan sebagai orang-orang Islam.

Penutup

Buku ini patut disampaikan kepada semua generasi, sebagai cermin bagi pribadi-pribadi mereka. Buku ini hendaklah diletakkan diperpustakaan masjid atau sekolah, terlebih perpustakaan pribadi; agar menjadi sumber inspirasi bagi keluarga dan masyarakat dekat kita. Semoga Allah mendatangkan manfaat dengannya. Amin.

 

Pemesanan, Klik Pesan Buku Para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Loading

Home
Akun
Order
Chat
Cari