Judul Asli kitab ini adalah Mukhtashar Latha`if al-Ma’arif yang merupakan intisari dari kitab Latha`if al-Ma’arif karya Imam Ibnu Rajab al-Hambali yang Diintisarikan Dr. Ahmad Utsman al-Mazyad.
Pemesanan, Klik : Pesan Buku Mukhtashar Latha`if al-Ma’arif
URGENSI DAN KEDUDUKAN PENTING BUKU
Allah Ta’ala berfirman,
{وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلًا}.
“Dan Kami menjadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kalian mencari karunia dari Tuhan kalian, dan supaya kalian mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan (waktu). Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan rinci.” (Al-Isra`: 12).
“Perhitungan waktu” dalam ayat ini dan ayat-ayat lainnya terkait dengan banyak hal yang terjadi berulang dan berputar silih berganti sepanjang tahun, seperti: waktu-waktu shalat, waktu puasa, awal dan akhir Ramadhan, waktu membayar zakat, dua hari id, hari-hari haji, nadzar, sumpah, iddah perempuan yang suaminya meninggal dunia atau diceraikan, haid dan nifas, juga bulan-bulan haram yaitu bulan-bulan yang tidak boleh dikotori oleh peperangan, dan lain sebagainya.
Dan Allah Ta’ala telah menetapkan sebagian hari dan malam lebih utama dari pada hari-hari dan malam-malam lainnya, seperti hari jum’at dalam setiap pekan, hari Arafah dalam satu tahun, bulan Ramadhan dibanding bulan-bulan lainnya, sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan secara khusus, hari Asyura`, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah dan lain sebagainya, di mana Allah melipat gandakan pahala ibadah dan kebajikan di dalamnya. Hal itu karena di antara bentuk rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-hambaNya yang beriman, adalah melipat gandakan pahala kebaikan pada waktu dan momen tertentu.
Karena itu, orang yang paling berbahagia terkait dengan waktu, adalah orang yang memanfaatkan waktu dalam perjalanan hidupnya untuk meraih ridha Allah dan memanfaatkan momentum-momentum yang utama untuk beribadah dan dengan ibadah-ibadah yang utama pula, pada hari, malam atau bulan yang Allah tetapkan sepanjang tahun.
Nah, dalam buku ini, penulis, Imam Ibnu Rajab , berhasil merumuskan waktu-waktu yang utama sepanjang tahun lengkap dengan ibadah-ibadah yang disyari’atkan padanya, yang bisa menjadi pegangan setiap Muslim untuk meraih keutamaan berupa janji pahala dan balasan yang melimpah dari Allah Ta’ala. Dan lebih dari itu, di sisi lain penulis juga menyinggung waktu-waktu dan momen-momen sepanjang tahun yang banyak diisi dengan ibadah-ibadah tertentu yang tidak memiliki dasar dalam Syari’at Islam, yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin. Ini semua diuraikan secara faktual dan ilmiah oleh penulis dalam buku ini.
SAJIAN PILIHAN SIMULASI ISI BUKU
Secara ringkas, buku ini menguraikan berbagai waktu ibadah yang utama dalam setiap bulan sepanjang tahun, berikut berbagai keutamaan terkait dengannya dan berbagai peristiwa penting dalam sejarah islam dalam bulan tersebut, bahkan tentang bid’ah-bid’ah yang tidak memiliki dasar terkait bulan itu.
Contoh (1): Bulan Muharram
Majelis Pertama: Keutamaan bulan Allah Muharram
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الَّذْيْ تَدْعُوْنَهُ الْمُحَرَّمَ.
“Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah bulan Allah yang kalian sebut dengan Muharram.” (Diriwayatkan oleh Muslim).
Bagian ini diuraikan penulis melalui beberapa pasal, yang di antaranya adalah pasal mengenai waktu Puasa paling utama yang dimaksud hadits ini, dimana ia dengan jelas menunjukkan bahwa puasa sunnah yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa Muharram. Lalu bagaimana mempertemukan antara hadits ini dengan hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah a tidak pernah berpuasa pada sebagian besar hari dalam satu bulan, di selain bulan Ramadhan, kecuali bulan sya’ban?
Ini dijelaskan dengan bagus dan ilmiah oleh penulis , yang tidak bisa kami sajikan secara utuh di sini.
Majelis Kedua: tentang hari Asyura`
Hari Asyura` adalah tanggal 10 Muharram, dan berpuasa pada hari itu sudah dikenal sejak lama di kalangan para Nabi k, di mana disebutkan dalam riwayat yang shahih bahwa Nabi Nuh dan Nabi Musa berpuasa padanya. Dan terkait puasa pada hari Asyura` ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, memiliki empat kondisi:
Kondisi Pertama: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berpuasa Asyura` sejak masih di Makkah dan beliau juga memerintahkan kaum Muslimin untuk melaksanakannya. Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Aisyah , beliau berkata:
“Hari Asyura` adalah hari di mana kaum Quraisy berpuasa, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga berpuasa padanya. Ketika beliau sudah tiba di Madinah, beliau juga berpuasa padanya dan memerintahkan (kaum Muslimin) untuk berpuasa padanya. Setelah puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa Asyura`. Karena itu, siapa yang ingin, silahkan berpuasa padanya dan siapa yang ingin, silahkan tidak berpuasa padanya.”
Kondisi Kedua: Setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tiba di Madinah, beliau melihat kaum Yahudi biasa melakukan puasa padanya dan bahkan kaum Yahudi juga mengagungkannya, dan beliau setuju dengan mereka, di mana beliau berpuasa padanya dan juga memerintahkan para sahabat untuk berpuasa padanya, bahkan orang-orang membiasakan anak-anak mereka untuk ikut melaksanakan puasa padanya. Ini terurai jelas dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas , di mana beliau berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tiba di Madinah dan mendapatkan kaum Yahudi berpuasa pada hari Asyura`, maka beliau bertanya kepada mereka, ‘Hari apa ini yang kalian berpuasa padanya?’ Mereka berkata, ‘Ini adalah hari yang agung di mana Allah telah menyelamatkan Nabi Musa dan kaum beliau dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, maka Nabi Musa berpuasa padanya sebagai ungkapan syukur, maka kami pun berpuasa padanya’. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Kami lebih berhak dan lebih utama untuk meneladani Nabi Musa ketimbang kalian’. Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa padanya dan juga memerintahkan orang-orang untuk berpuasa padanya.”
Kondisi ketiga: Setelah Puasa Ramadhan diwajibkan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membiarkan kaum Muslimin untuk berpuasa dan tidak lagi menekankan untuk melakukannya. Dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Abdullah bin Umar , beliau berkata,
“Nabi a mulanya melakukan puasa Asyura`, dan setelah Puasa Ramadhan diwajibkan beliau meninggalkannya.”
Akan tetapi sekalipun demikian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda tentang keutamaan puasa Asyura` yang begitu agung, sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam muslim dari Abu Qatadah ,
“Aku berharap kepada Allah agar puasa Asyura` itu menggugurkan dosa-dosa setahun sebelumnya.”
Kondisi keempat: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bulat tekad untuk tidak berpuasa pada hari Asyura` secara tersendiri, dengan berpuasa satu hari sebelumnya atau satu hari setelahnya, dalam rangka menyelesihi Ahlul Kitab. Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas , bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Jika aku masih hidup di tahun depan, maka aku benar-benar akan berpuasa juga pada hari kesembilan (dari Bulan Muharram),
Dan diriwayatkan secara shahih dari Ibnu Abbas yang beliau marfu’kan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
خَالِفُوا الْيَهُوْدَ؛ صُوْمُوْا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ.
“Selisihilah kaum Yahudi! (maka) berpuasalah juga sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya.”
Sampai di sini mungkin muncul pertanyataan; Apa saja keutamaan puasa Asyura`?
Di antara yang disebutkan oleh penulis, adalah bahwa hari Asyura` adalah hari dimana Allah menerima taubat suatu kaum, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, at-Tirmidzi dan lainnya, di mana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada seorang laki-laki,
إِنْ كُنْتَ صَائِمًا بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ فَصُمِ الْمُحَرَّمَ فَإِنَّهُ شَهْرُ اللَّهِ فِيْهِ يَوْمٌ تَابَ اللَّهُ فِيْهِ عَلَى قَوْمٍ وَيَتُوْبُ فِيْهِ عَلَى قَوْمٍ آخَرِيْنَ.
“Jika engkau berpuasa setelah bulan Ramadhan, maka berpuasalah pada bulan Muharram; karena ia adalah bulan Allah di mana padanya Allah menerima taubat suatu kaum dan juga di dalamnya Allah akan menerima taubat kaum-kaum yang lain.”
Ini adalah motivasi hebat bagi kita semua agar berusaha memperbaharui taubat kita kepada Allah pada bulan Muharram ini, agar kita termasuk kaum-kaum yang akan mendapatkan ampunan Allah Ta’ala.
Dan masih ada sejumlah keutamaan lain dan juga pembahasan lain terkait bulan Muharram yang dapat Anda gali dalam buku ini.
Mengenai taubat dan berbagai masalah terkait bulan Muharram, masih ada banyak pembahasan yang bagus dan mendalam pada buku ini, yang sangat patut kita kaji secara baik, karena taubat adalah salah pintu meraih ampunan, rahmat dan ridha Allah. Karena itu, selebihnya silahkan Anda kaji di sini.
Contoh (2): Bulan Shafar
Di antara pembahasan menarik terkait bulan ini, adalah tersebarnya di sebagian kaum Muslimin keyakinan yang tidak memiliki dasar, bahkan berasal dari adat kebiasaan Arab Jahiliyah sebelum Islam. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
لاَ عَدْوَى ، وَلاَ طِيَرَةَ ، وَلاَ هَامَةَ ، وَلاَ صَفَرَ.
“Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak nasib sial karena burung, tidak ada keburukan karena burung hantu (hinggap di rumah seseorang), dan tidak ada kesialan di bulan Shafar.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).
Keempat masalah yang disebut dalam hadits ini, kemudian diulas secara rinci dalam buku ini. Berikut kami sajikan secara ringkas.
Pertama: لاَ عَدْوَى (Tidak ada penyakit menular dengan sendirinya). Ini perlu diperhatikan oleh kita semua, karena ini adalah salah bentuk kesyirikan yang samar dan juga keyakinan masyarakat jahiliyah dahulu. Hal itu karena harus tertanam dalam sanubari setiap kita, bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam semesta ini kecuali atas kehendak Allah Ta’ala. Penyakit terjadi dan menjangkiti tidak akan terjadi kecuali karena takdir Allah Ta’ala. Nah, itulah sebabnya, di awal pembahasan tentang bulan shafar ini, Imam Ibnu Rajab , pertama sekali menguraikan secara luas mengnenai “Iman Kepada Takdir dan hubungannya dengan melakukan sebab-sebab keselamatan”.
Kedua: وَلاَ طِيَرَةَ (tidak nasib sial karena burung). Dan penulis menguraikan tentang tathayyur ini secara detil dalam buku ini, yang akan sangat membantu setiap kita untuk menjauhinya, karena ia adalah salah bentuk kesyirikan yang sangat merusak akidah Islam.
Ketiga: وَلاَ هَامَةَ (tidak ada keburukan karena burung hantu (hinggap di rumah seseorang)). Dan ini bahkan acap kali kita dengar di berbagai tempat di Indonesia, yakni keyakinan-keyajinan tidak berdasar terkait dengan burung hantu. Dan buku ini adalah bantahan telak, bahwa semua itu hanyalah takhayul dan khurafat.
Keempat: وَلاَ صَفَرَ (tidak ada kesialan di bulan Shafar). Inipun juga sering kita dengar pada sebagian wilayah di indonesia. Karena itu, masalah ini sangat penting di kaji secara baik.
Dan setelah uraian panjang lebar mengenai semua keyakinan yang wajib ditinggalkan, imam Ibnu Raja , kemudian menyajikan satu sub yang bagus yang harus dipahami setiap Muslim, yaitu; “Sebab-sebab yang dibenarkan syari’at” yang dapat dilakukan untuk meraih kebaikan dan menghindari keburukan.
Mengenai ini, Imam Ibnu Rajab menjelaskan bahwa sebab-sebab itu secara garis besar terbagi dua;
Pertama: sebab-sebab kebaikan, maka yang disyari’atkan padanya adalah seorang muslim senang dan gembira karenanya. Akan tetapi dia tidak boleh bersandar kepadanya, akan tetapi kepada Penciptanya dan Tuhan Yang Menyebabkannya. Inilah realisasi dari tawakkal kepada Allah dan Iman kepada takdir yang merupakan salah satu bentuk mentauhidkan Allah Ta’ala. Perhatikanlah ketika Allah menyinggung hal ini,
{وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلَّا بُشْرَى وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِ قُلُوبُكُمْ وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ}.
“Dan Allah tidak menjadikannya (pemberian bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hati kalian menjadi tentram karenanya. Dan tidaklah kemenangan itu kecuali dari sisi Allah.” (Al-Anfal: 10).
Kedua: Sebab-sebab keburukan. Ini tidak boleh dinisbatkan kecuali kepada dosa-dosa, karena semua musibah dan malapetaka terjadi disebabkan dosa-dosa. Perhatikanlah ketika Allah berfirman,
{مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ}.
“Dan keburukan apapun yang menimpamu, maka itu adalah dari (keburukan dan dosa) dirimu sendiri.” (An-Nisa`: 79).
Allah Ta’ala juga berfirman,
{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ}.
“Dan musibah apa pun yang menimpa kalian, maka itu adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri.” (Asy-Syura: 30).
Karena itu, hinggapnya burung hantu, terbangnya burung ke kanan atau ke kiri, hari anu dan malam jum’at anu, bulan Shafar atau tahun anu, sama sekali tidak hubungannya dengan kesialan atau lainnya; semua itu adalah kesyirikan, takhayul dan khurafat jahiliyah yang tidak layak ada dalam hati orang yang beriman. Dan masih banyak hal mengenai bulan Shafar yang diulas dalam buku ini.
Dan begitulah seterusnya, setiap bulan dari bulan-bulan hijriyah diuraikan satu demi satu hingga bulan terakhir, Dzulhijjah. Dua contoh ini mudah-mudahan cukup untuk mensimulasikan isi buku ini yang begitu penting. karena di dalamnya terulas berbagai waktu dan kesempatan yang utama untuk beribadah, dan berbagai hal yang berkaitan dengan masing-masing bulan tersebut, bahkan berbagai hal yang tidak memiliki dasar dalam Syari’at.
PENUTUP
Buku intisari ini benar-benar menyajikan Latha`iful Ma’arif dalam sajian yang simpel dan bagus serta praktis. Dan lebih dari itu, setiap masalah dilengkapi dengan dalil berikut takhrijnya secara ringkas. Karena itu, meskipun buku ini diringkas akan tetapi sama sekali tidak membuang nilai ilmiah yang diuraikan luas oleh Imam Ibnu Rajab 5.
Dengan panduan yang disajikan oleh buku ini, pembaca dapat membuat semacam peta waktu dan momen sepanjang tahun, sebagai usaha untuk memaksimalkan amal dan ibadah, dalam rangka meraih kebahagian dunia dan ridha Allah di akhirat.
Karena itu, buku ini layak dibaca setiap kalangan dari kaum Muslimin; karena memuat berbagai permasalahan dan waktu-waktu utama dan ibadah yang istimewa sepanjang tahun.
Semoga Allah mendatangkan banyak manfaat dengannya.
Pemesanan, Klik : Pesan Buku Mukhtashar Latha`if al-Ma’arif
SMS/WA. 0813 8236 1477 Telp. 021-84999585