Mukhtashar Jami’ul Ulum wal Hikam; Intisari Penjelasan hadits-hadits paling Pokok dalam ilmu dan Hikmah
Penulis syarah : Imam Ibnu Rajab
Di intisarikan oleh : Syaikh Dr. Ahmad Utsman al-Mazyad.
Pemesanan, Klik :Pesan Buku Mukhtashar Jami’ul Ulum wal Hikam
TENTANG BUKU
Warisan ilmiah yang sampai kepada kita, berupa karya tulis dan kitab-kitab para ulama, begitu banyak dan tak bisa diukur nilainya kecuali oleh Allah Yang Maha Mengetahui. Semua itu adalah warisan agung yang patut menjadi perhatian setiap Muslim. Agung karena ia membawa ilmu yang paling dibutuhkan oleh manusia yaitu ilmu Syari’at, yang dengannya kehidupan dunia menjadi baik, dengannya manusia terbebas dari penghambaan kepada sesama makhluk, dengannya seorang manusia dapat keluar dari kegelapan-kegelapan menuju satu cahaya yaitu Islam yang shahih dan Syari’at yang haq, dengannnya kejayaan kaum Muslimin dapat disongsong, bahkan nilai ubudiyah seorang hamba juga terukur dengannya, dan tanpa ilmu ia hanya menjadi suatu yang sia-sia; sekalipun semua itu tentu setelah taufik dari Allah Ta’ala.
Di antara kitab-kitab warisan ilmiah tersebut, ada yang sulit untuk dibaca oleh semua kalangan, kecuali para akademisi dan para mahasiswa yang mumpuni, akan tetapi tidak sedikit yang harus dikaji oleh setiap Muslim, karena memuat hal-hal pokok dalam beriman dan beragama. Hanya saja di antara kitab-kitab warisan para ulama itu banyak yang sangat detil dan luas, sehingga membutuhkan usaha ekstra untuk mengambil faidah darinya. Nah, para ulama telah menyadari hal itu sejak awal dari perjalanan sejarah Islam, sehingga sebagian ulama berusaha meringkas dan mengintisarikan sejumlah kitab, agar lebih mudah dikaji. Sebagai contoh: Imam al-Muzani meringkas kitab gurunya imam asy-Syafi’i dalam masalah cabang-cabangnya fikih, yang kita kenal dengan Mukhtashar al-Muzani fi Furu’ asy-Syafi’i, Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi meringkas kitab Imam ibnul Jauzi yang kita kenal dengan Mukhatshar Minhajul Qashidin dan Begitu pula Imam adz-Dzahabi meringkas kitab gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan lain sebagainya.
Dan inilah yang dilakukan oleh sejumlah pihak di masa kini, yaitu perhatian untuk mengintisarikan kitab-kitab para ulama agar lebih mudah dikaji oleh sebanyak mungkin kaum Muslimin. Semua itu mereka lakukan, Jazahumullahu khairan, agar lebih memudahkan kaum Muslimin untuk mengkaji dan membaca kitab-kitab warisan luhur para ulama, yang di dalamnya memang bertabur ilmu dan hikmah. Dan salah satunya adalah buku yang kita resensi ini, Mukhtashar Jami’al-Ulum wa al-Hikam, yang tentu aslinya adalah Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, yang ditulis oleh Imam al-Hafizh Ibnu Rajab .
Kitab Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, tentu tidak asing bagi kita kaum Muslimin terlebih para penuntut ilmu. Kita ini ditulis oleh seorang ulama besar yang mumpuni dan teladan bagi kaum Muslimin, Imam al-Hafizh Ibnu Rajab . Kitab ini adalah syarah dari hadits al-Arba’in an-Nawawiyah, yaitu himpunan 42 hadits yang paling pokok dalam Islam, yang pokok dan kaidah dasar syari’at Islam. Syarah Imam Ibnu Rajab ini adalah penjelasan yang bagus dan indah dari hadits-hadits paling pokok tersebut, yang merupakan pondasi imaniyah dan amaliah sehingga harus menjadi perhatian setiap Muslim. Dan lebih dari itu, Imam Ibnu Rajab menambahkan delapan hadits lain yang juga pokok dalam Islam, sehingga genap berjumlah 50 hadits.
Lima puluh hadist inilah yang diurai dan dijabarkan secara sistematis di dalam kitab ini. Dan inilah yang di intisarikan oleh buku Mukhtashar Jami’ul Ulum wal Hikam kita ini, yang diharapkan menjadi jalan cepat untuk mengambbil faidah ilmiah darinya.
Berikut ini kami sajikan salah satu hadits, lengkap dengan intisari syarahnya, secara ringkas. Mudah-mudahan dapat menggambarkan bentuk sajian buku Mukhtashar Jami’ul Ulum wal Hikam ini secara baik.
HADITS KETIGA PULUH SATU
Dari Sahl bin sa’ad as-sa’idi , beliau berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ دُلَّنِيْ عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ اللَّهُ، وَأَحَبَّنِيَ النَّاسُ، فَقَالَ: ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبَّكَ النَّاسُ.
“Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah! Tunjukkanlah kepadaku suatu amal yang apabila aku mengamalkannya Allah akan mencintaiku dan orang-orang juga akan mencintaiku’. Maka beliau bersabda, ‘Zuhudlah terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah terhadap harta milik orang niscaya orang-orang akan mencintaimu’.” Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya dengan sanad-sanad yang hasan.
Hadits ini mencakup dua pesan agung:
Pertama: Bersikap zuhud terhadap dunia, dan bahwa sikap seperti ini mendatangkan kecintaan Allah bagi seorang hamba.
Kedua: Bersikap zuhud terhadap harta benda milik orang, yang akan mendatangkan kecintaan orang-orang.
[SYARAH HADITS]:
Tentang zuhud terhadap dunia, al-Qur`an banyak memujinya, dan sebaliknya mencela sikap mencintai dunia. Sebagai contoh, Allah Ta’ala berfirman,
“Katakanlah, ‘Ke¬sena¬ngan di dunia ini hanya sedikit dan akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa.” (An-Nisa`: 77).
Dan hadits-hadits yang mencela dunia juga sangatlah banyak. Dari Jabir , “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah lewat di sebuah pasar, sementara orang-orang berada di sekitar beliau, lalu beliau melewati bangkai seekor anak kambing yang kedua telinganya terpotong, lalu beliau menyentuh telinganya tersebut dan bersabda, ‘Siapa di antara kalian yang ingin membeli ini dengan satu dirham?’ Mereka menjawab, ‘Kami tidak ingin membelinya dengan harga sekecil apapun; dan apa yang bisa kami lakukan terhadapnya?’ Beliau bersabda, ‘Apakah kalian suka jika ia menjadi milik kalian?’ Mereka menjawab, ‘Demi Allah, kalau seandainya dia masih hdup saja ia hewan yang cacat, apalagi dia telah menjadi bangkai?’ Maka beliau bersabda, ‘Demi Allah, dunia ini benar-benar lebih hina bagi Allah daripada bangkai ini bagi kalian’.” Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2957.
Kemudian dalam hadits lain dari Sahal bin sa’ad , Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Seandainya dunia ini memiliki nilai seberat sebelah sayap nyamuk sekalipun bagi Allah, niscaya Dia tidak akan memberikan seorang kafir minum seteguk sekalipun darinya.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi.
[Makna Zuhud Terhadap Dunia dan Perkataan as-Salaf]
Zuhud terhadap sesuatu adalah: berpaling darinya dan mengabaikannya, karena begitu sedikit dan remehnya. Dikatakan (dalam bahasa Arab), شَيْءٌ زَهِيْدٌ yakni, sesuatu yang sedikit dan remeh.
Para ulama dari kalangan as-Salaf dan lainnya telah membicarakan makna “zuhud terhadap dunia”, dan ungkapan mereka mengenainya beragam:
– Dari Yunus bin Maisarah , beliau berkata, “Zuhud terhadap dunia bukan dengan mengharamkan yang halal, dan bukan pula dengan menyia-nyiakan harta benda, akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah engkau lebih yakin terhadap apa yang ada di Tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu sendiri, dan keadaanmu ketika menghadapi musibah sama dengan keadaanmu saat tidak ditimpa musibah tersebut, dan orang yang memuji dan mencelamu dalam kebenaran adalah sama bagimu.”
– Al-Hasan al-Bashri berkata, “Orang yang zuhud itu adalah orang yang apabila melihat orang lain, dia berkata, ‘dia lebih baik dariku’.”
– Wahib bin al-Ward mengatakan, “Zuhud terhadap dunia adalah bahwa engkau tidak putus asa terhadap apa yang tidak engkau raih darinya, dan juga tidak bangga diri dengan apa yang datang kepdamu darinya.”
– Sufyan ats-Tsauri berkata, “Zuhud terhadap dunia adalah pendek angan-angan (terhadapnya), dan bukan dengan memakan makanan yang keras, dan bukan dengan mengenakan pakaian kasar.”
[Macam-macam Zuhud Terhadap Dunia]
Banyak ulama as-Salaf yang membagi sikap zuhud menjadi beberapa bagian:
Di antara mereka, ada yang berkata, “Zuhud yang paling utama adalah zuhud terhadap kesyirikan dan terhadap beribadah kepada apa-apa yang disembah selain Allah, kemudian diikuti dengan zuhud terhadap semua yang haram semuanya berupa perbuatan-perbuatan maksiat, kemudian disusul dengan zuhud dalam hal yang halal, dan yang terakhir ini adalah bagian zuhud yang paling sedikit.
Ibrahim bin Ad-ham berkata, “Zuhud itu adalah tiga bagian: zuhud yang fardhu, zuhud yang merupakan keutamaan, dan zuhud keselamatan. Zuhud yang fardhu (wajib) adalah terhadap yang haram, zuhud yang merupakan keutamaan adalah zuhud terhadap yang halal, dan zuhud yang merupakan keselamatan adalah zuhud terhadap yang syubhat.
[Tercelanya Dunia Kembali Kepada Perbuatan Manusia]
Ketahuilah bahwa celaan dalam al-Qur`an dan as-Sunnah terhadap dunia, tidak kembali kepada waktunya, yaitu malam dan siang hari, yang datang silih berganti hingga Hari Kiamat; karena Allah menjadikan keduanya saling mengganti bagi orang yang ingin berdzikir (mengingat dan menyebut) Allah atau ingin bersyukur. Dan celaan juga tidak dialamatkan kepada tempat dunia yaitu bumi yang Allah jadikan bagi manusia sebagai hamparan dan tempat tinggal, karena semua itu adalah di antara nikmat-nikmat Allah yang di dalamnya terkandung berbagai manfaat, dan mereka juga dapat mengambilnya sebagai i’tibar (pelajaran) dan petunjuk kepada keesaan Pencipta-nya juga Kuasa dan Keagungan-Nya. Akan tetapi tercelanya dunia kembali kepada perbuatan-perbuatan manusia yang terjadi di dunia; karena pada kebanyakannya terjadi tidak sebagaimana yang terpuji akibatnya, tetapi sebaliknya justru akibatnya adalah mendatangkan mudarat; sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Ketahuilah bahwasanya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kalian serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan.” (Al-Hadid: 20).
Manusia di Dunia terbagi Menjadi Dua Bagian:
Pertama: Orang yang mengingkari adanya pahala dan hukuman bagi hamba-hamba setelah kehidupan dunia ini. Mereka inilah yang difirmanan Allah,
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.” (Yunus: 7-8).
Dan mereka ini, cita-cita dan perhatian mereka hanyalah dunia dan mereguk kenikmatannya sebelum kematian.
Kedua: Orang yang mengakui adanya balasan dan hukuman setelah kematian. Mereka inilah yang menisbatkan diri mereka kepada Syari’at-syari’at para rasul. Mereka ini ada tiga macam: pertama, yang menzhalimi dirinya, kedua, yang pertengahan, dan ketiga, yang bersegera kepada kebaikan dengan izin Allah,
Yang menzhalimi dirinya (dengan berbuat dosa-dosa), ialah yang mayoritas mereka adalah orang yang lebih memikirkan dunia dengan segala perhiasannya, lalu mereka menggapainya dengan bukan jalannya, dan juga menggunakan dunia pada tempat yang tidak dibenarkan, sehingga dunia menjadi cita-cita mereka yang paling besar, karenanya mereka marah, dan karenanya dia ridha, karenanya dia memberikan loyalitas dan karenanya dia menampakkan sikap antinya.
Yang tengah-tengah di antara mereka, ialah orang-orang yang mengambil dunia dari jalannya yang mubah, melaksanakan kewajiban-kewajibannya, menahan apa yang lebih untuk dirinya, dan menikmati secara luas dari syahwat dunia.
Mengenai macam yang kedua ini, terdapat perbedaan pandangan mengenai apakah mereka masuk dalam nama “zuhud” terhadap dunia atau tidak. Ibnu Umar berkata, “Tidaklah seorang hamba mendapatkan sesuatu dari dunia, kecuali akan mengurangi derajatnya di sisi Allah, sekalipun ia adalah seorang yang dermawan.”
Dan orang yang bersegera kepada kebaikan dengan izin Allah, maka mereka ialah orang-orang memahami apa yang dimaksud dari dunia, dan mereka beramal atas dasar itu, di mana mereka memahami bahwasanya Allah memberikan kesempatan bagi hamba-hambaNya untuk tinggal di negeri dunia ini, demi menguji mereka siapa di antara mereka yang paling baik amalnya. Dan setelah mereka paham bahwa itulah tujuan dari diciptakannya dunia ini, maka cita-cita mereka adalah berbekal dari dunia untuk akhirat yang merupakan negeri kebadian, dan dunia cukup bagi mereka sebagaimana yang mencukupi seorang musafir dalam perjalanan safarnya; sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
“Apa hubunganku dengan dunia ini? Sesungguhnya perumpamaan diriku terhadap dunia adalah seperti seorang pengendara yang berteduh untuk istirahat siang sejenak di bawah rindangnya sebatang pohon, kemudian pergi meninggalkannya.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, dan at-Tirmidzi.
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berwasiat kepada sekelompok orang dari para sahabat, agar bekal seseorang di antara mereka dari dunia ini hanya seperti bekal yang dibutuhkan oleh seorang pengendara (dalam perjalanannya). Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah berwasiat kepada Ibnu Umar , agar menjadi seperti orang asing atau orang yang menyeberang jalan dan agar menganggap diri termasuk penghuni kubur. Diriwayatkan oleh al-Bukhari.
Orang-orang Yang telah Mencapai Derajat ini adalah dua macam:
Pertama: Ada yang hanya mengambil dari dunia sekedarnya saja untuk bisa membuka matanya saja, dan ini adalah keadaan banyak orang dari orang-orang zuhud.
Kedua: Ada juga yang melapangkan untuk diri sesekali waktu untuk mendapatkan keinginan hawa nafsu yang mubah, dengan tujuan memperkuat diri dan membangkitkan semangat untuk beramal. Dan kapan saja seorang Mukmin mendapatkan keinginan dirinya dengan niat untuk memperkuat dirinya untuk taat, maka memperturutkan keinginannya tersebut adalah juga ketaatan yang mana dia akan diberi pahala karenanya. Ini sebagaimana yang dikatakan oleh sahabat Mu’adz bin Jabal rhu, “Sesungguhnya aku berharap pahala dari tidurku sebagaimana aku berharap pahala dari shalat sunnah malamku.” Yakni, beliau berniat dengan tidur beliau tersebut untuk memperkuat diri beliau untuk shalat sunnah di akhir malam, sehingga beliau berharap pahala dari tidur beliau sebagaimana beliau berharap pahala dari shalat sunnah malam beliau.
Orang-orang Zuhud terhadap Dunia adalah Beberapa Macam:
– Di antara mereka: ada orang yang meraih dunia, lalu dia menahannya dan mendekatkan diri kepada Allah dengannya, sebagaimana keadaan banyak orang dari kalangan sahabat dan selain mereka.
– Di antara mereka: ada yang menjauhkannya dari tangannya dan tidak memegangnya, dan orang macam ini adalah dua jenis: pertama, yang mengeluarkannya dengan sukarela dan penuh dedikasi, dan kedua, yang mengeluarkannya namun hatinya menolak untuk mengeluarkannya akan tetapi dia memaksa dirinya untuk melakukannya.
– Di antara mereka: ada yang meraih sedikit dari kelebihan harta benda, sementara dia bersikap zuhud dalam mendapatkannya, baik dalam keadaan dia mampu atau dalam keadaan dia tidak mampu; dan yang pertama adalah lebih utama.
Itulah sebabnya Malik bin Dinar berkata, “Orang-orang berkata, ‘Imam Malik rhm adalah seorang yang zuhud’. (Benar, tetapi) orang zuhud (yang lebih baik) adalah Umar bin Abdul Aziz .”
Al-Hasan berkata, “Seseorang di antara mereka benar-benar hidup dalam kesulitan yang mencekik, padahal harta yang halal ada di sampingnya. Dikatakan kepadanya, ‘Mengapa engkau tidak mendekat kepada harta ini dan menikmati sedikit darinya?’ Maka dia berkata, ‘Tidak demi Allah, aku tidak akan melakukannya. Sesungguhnya aku takut kalau aku mendekat kepadanya lalu aku menikmati sebagian darinya, akan mennyebabkan rusaknya hati dan amalku’.”
Orang Yang Paling Istimewa dari Orang-Orang Zuhud itu Khawatir Dunia akan menyibukkan dari beribadah kepada Allah
Abu Sulaiman berkata, “Zuhud itu adalah meninggalkan apa-apa yang menyibukkan dari beribadah kepada Allah.”
Beliau juga berkata, “Orang zuhud itu bukan orang yang mencampakkan kedukaan-kedukaan dunia lalu dia istirahat darinya, akan tetapi orang yang zuhud itu adalah orang yang zuhud terhadap dunia dan terhadap melelahkan diri padanya, untuk (fokus kepada) akhirat.
Perhatikanlah! Betapa indah sajian buku Mukhtashar Jami’ul Ulum wal Hikam ini, yang menjelaskan satu hadits tentang zuhud. Dan ini adalah salah satu dari 50 hadits pokok yang dijelaskan dengan apik dan indah. Dan lebih dari itu, edisi DARUL HAQ ini juga memiliki banyak kelebihan, yang di antaranya: semua hadits dan riwayat ditakhrij berdasarkan sumber-sumber aslinya. Semua kalangan patut memberi perhatian terhadap buku ini, dan akan sangat bagus bila dijadikan bahan kajian, baik di masjid, mushalla, maupun lainnya.
Semoga Allah mendatangkan manfaat dengannya bagi kitab semua, amin.
Pemesanan, Klik :Pesan Buku Mukhtashar Jami’ul Ulum wal Hikam