Pemesanan, klik : Pesan Buku Fikih Perniagaan
Kedudukan Penting Tema Buku
Allah Ta’ala mengatur segala aspek kehidupan manusia dengan aturan dan syari’at yang akan menjadikan hidup manusia menjadi baik dan menumbuhkan kebaikan bagi semua dimensi kehidupan mereka, baik dunia maupun akhirat. Salah satu sisi penting adalah interaksi sesama manusia secara umum, dan di antara yang terpenting darinya adalah interaksi jual beli dan bisnis.
Berdagang atau berbisnis secara umum adalah salah satu mata pencaharian yang mulia dan terhormat dalam Islam. Karena itu, Islam memberikan perhatian khusus terhadap perdagangan dari segala seginya, sehingga semua kebutuhan seorang hamba Allah dalam kaitan berdagang terpenuhi. Semua itu agar seorang hamba, meraih ridha Allah sekalipun dalam usaha meraih penghidupan dunia yang baik, sebagai sarana untuk menggapai akhirat yang baik pula. Inilah yang diuraikan dalam buku ini,
Di awal buku, penulis, Dr. Muhammad Arifin Badri, MA, mengingatkan bahwa seorang Muslim wajib memenuhi kebutuhannya sendiri. Bersamaan dengan itu, penulis memperingatkan dengan sangat keras dari perbuatan meminta-minta; karena di samping itu adalah suatu yang haram, juga memiliki pengaruh yang sangat buruk bagi pribadi dan masyarakat.
Penulis kemudian menguraikan banyak hikmah di balik larangan meminta-minta, yang dengan mengetahuinya seseorang diharapkan memahami, bahkan terinspirasi untuk menjadi seorang hamba Allah yang bermartabat dan produktif.
Hikmah pertama: Meminta-minta mencerminkan lemahnya iman kepada Allah, karena itu adalah salah satu bentuk merendahkan diri kepada sesama manusia dan membuka pintu harapan dalam hatinya kepada selain Allah.
Hikmah kedua: Meminta-minta adalah pertanda buruknya pola pikir pelakunya.
Hikmah Ketiga: Meminta-minta diharamkan agar kita senantiasa menyadari dan kemudian menjaga berbagai nikmat besar yang telah Allah limpahkan kepada kita, di mana Allah Ta’ala telah menjadikan kita sebagai makhluk-Nya yang terhormat dibanding makhluk lainnya. Kemulian ini sudah seharusnya kita pertahankan sehingga kita tidak merendahkan martabat kita kepada selain Allah Ta’ala.
Hikmah Ketiga: Menyadari haramnya meminta-minta menjadikan anda berpikir dan bersikap kreatif serta inovatif dalam menjalani hidup. Dengan demikian, kita dengan mudah menemukan celah-celah rizki dan penghasilan. Jiwa kewirausahaan tumbuh subur dalam diri kita, dan pada akhirnya kita menjadi figur muslim yang produktif dan bukan konsumtif.
Mungkin inilah salah satu rahasia keberhasilan para perantau di negeri seberang. Betapa banyak orang yang semasa tinggal di kampung halamannya sendiri hidup dalam kesusahan, namun setelah dia pergi dari kampung halamannya dan merantau ke negeri orang atau ke kota lain, dia menjadi sukses berwirausaha dan menjadi berkecukupan, bahkan mendatangkan kebaikan juga bagi begitu banyak orang lain.
Pada bab kedua penulis, 2 menguraikan jenis-jenis akad dalam Islam:
- Pembagian akad ditinjau dari segi tujuannya.
- Pembagian akad ditinjau dari segi konsekwensinya.
Kata penulis, ini sangat penting diketahui untuk membedakan berbagai akad yang dilakukan oleh manusia. Dan dengan memahami jenis akad ini, banyak hal yang bisa dihindari, seperti kekisruhan antara para pekerja dengan managemen perusahaan dalam kasus PHK, outsourching dan sebagainya.
INTI DAR ISI BUKU INI
Buku ini adalah bimbingan agar seorang Muslim berdagang sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah q dan digariskan oleh Rasulullah a, sehingga dengan usaha berdagang tidak saja mendatangkan penghidupan duniawi yang baik tetapi lebih dari itu ridha dari Allah c dan amal duniawi menjadi bernilai ibadah yang mendatangkan pahala.
Inti pokok dari sorotan penulis ada pada “Bab ke empat”. Di sini penulis menyebutkan tidak kurang dari 8 perinsip dasar dalam berdagang dan berbisnis, yang harus diindahkan oleh seorang Muslim, agar perdagangan dan bisnisnya sejalan dengan bimbingan Syari’at.
Prinsip Pertama: Hukum Asal Setiap Perniagaan Adalah Halal.
Hubungan interaksi antara sesama manusia tidak terbatas, dan terus berkembang. Setiap masa dan daerah memiliki berbagai bentuk dan model interaksi yang berbeda dengan bentuk interaksi pada masa dan daerah lainnya. Karena itulah syariat Islam tidak pernah membatasi model interaksi sesama mereka. Dan sebagai salah satu buktinya, para ahli fikih menggariskan satu kaidah besar yang berbunyi:
“Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan keharamannya .”
Kaidah ini didukung banyak dalil, di antaranya, sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
(أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ).
“Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian.” (Diriwayatkan oleh Muslim).
Walau demikian, Islam menggariskan beberapa prinsip dasar yang bertujuan agar hubungan di antara masyarakat berlangsung selaras dengan prinsip-prinsip luhur yang suci, agar tidak terjadi ketimpangan serta agar manusia tidak hanyut oleh hawa nafsu, dan sifat tamak; sehingga setiap orang mendapatkan haknya sebagai anggota masyarakat secara penuh.
Ini membuktikan bahwa syariat islam menghormati hak asasi manusia, dan tidak bertentangan dengan prinsip prinsip HAM, sebagaimana yang selama ini dituduhkan oleh musuh-musuh Islam.
Prinsip kedua: Memudahkan orang lain
Perinsip ketiga: Bisnis dan berdagang yang benar dapat bernilai ibadah.
Prinsip Keempat : Tidak Merugikan Masyarakat Banyak.
Agama Islam mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menjadi umat yang bersatu, saling bahu membahu untuk kebaikan. Dengan demikian, setiap kita merasa bahwa penderitaan saudara kita sesama muslim adalah bagian dari penderitaan kita pula. Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang mu’min itu bersaudara”. (Al Hujuraat: 10).
Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam banyak haditsnya juga menegaskan hal ini. Penulis kemudian berkata: Berdasarkan berbagai dalil ini dan juga dalil-dalil lainnya yang tidak saya sebutkan di sini, para ulama ahli fikih menyatakan bahwa tidak dibenarkan bagi siapapun untuk mengadakan perdagangan dan bisnis yang meresahkan dan merugikan masyarakat banyak; baik kerugian dalam urusan agama atau dalam urusan dunia mereka.
Karena itu, prinsip ini berkaitan dengan banyak hal faktual di tengah masyarat. Di antaranya:
Pertama: Hukum berbisnis dan memperjual-belikan barang-barang haram.
Sebagai bentuk penerapan dari prinsip ini, syariat Islam mengharamkan penjualan barang-barang yang diharamkan. Demikian pula andil dalam penjualan atau pengadaan barang-barang tersebut. Seperti, minuman keras, Islam mengharamkan seluruh bentuk kerja sama dalam penjualan dan pengedaran khamer, sampai-sampai dinyatakan dalam sebuah hadits:
“Dalam urusan minuman khmer, Rasulullah a melaknati sepuluh orang: Pemerasnya, orang yang meminta untuk diperaskan, peminumnya, pembawanya (distributornya), orang yang dibawakan kepadanya, penuangnya (pelayan yang menyajikannya), penjualnya, pemakan hasil penjualannya, pembelinya, dan orang yang dibelikan untuknya”. (Diriwayatkan oleh At Tirmizi dan Ibnu Majah dan shahih oleh syaikh al-Albani).
Begitu pula dalam masalah riba, dalam hadits disebutkan,
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan riba, juru tulisnya, dan juga dua orang saksinya”. Dan beliau juga bersabda: “Mereka itu sama besar dosanya” (Diriwayatkan oleh Muslim).
Dan ini berlaku untuk semua barang haram, yang di antaranya adalah alat-alat musik. Hal itu, karena mereka semua ikut andil dalam merusak agama masyarakat, yaitu ikut andil dalam menyebarkan dan melangsungkan perbuatan haram, maka mereka semua ikut menanggung dosa perbuatan ini. Ini semua merupakan penerapan konkrit terhadap firman Allah Ta’ala:
“Dan bertolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan ketaqwaan, dan janganlah bertolong-menolong dalam perbuatan dosa dan melampaui batas”. (Al Maidah 2)
Kedua: Hukum percaloan.
Diantara bentuk lain penerapan prinsip ini adalah diharamkannya percaloan. Ini disimpulkan dari sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
“Janganlah kalian menghadang orang-orang kampung yang membawa barang dagangannya (ke pasar), jangan pula sebagian dari kalian melangkahi penjualan sebagian yang lain. Janganlah kalian saling menaikkan tawaran suatu barang (tanpa niat untuk membelinya), dan jangan pula orang kota menjualkan barang dagangan milik orang kampung.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).
(1). Pembelian barang dagangan yang di bawa oleh orang-orang kampung sebelum mereka tiba di pasar.
(2). Percaloan yang dilakukan oleh orang-orang kota (para pedagang) pasar dalam penjualan barang dagangan milik orang kampung, walaupun percaloan ini dilakukan di tengah-tengah pasar.
Rasulullah a melarang dua perbuatan ini dikarenakan kedua perbuatan ini dapat merugikan masyarakat banyak. Karena, beda halnya bila penduduk kampung tersebut langsung menjualnya di pasar, sehingga setiap orang di pasar dapat membeli barang-barang tersebut dengan harga yang wajar.
Begitu juga halnya dengan kasus percaloan dalam penjualan barang dagangan yang dibawa oleh orang-orang kampung yang sering kita kenal dengan sebutan tengkulak.
Bila kedua praktek perdagangan ini dibiarkan, niscaya harga barang-barang kebutuhan masyarakat luas akan menjadi mahal. Dengan demikian masyarakat luas dirugikan dalam segala luas.
Sebaliknya penduduk kampung yang membawa barang-barang tersebut ketika akan membeli barang-barang kebutuhannya dari penduduk kota, akan dirugikan pula. Penduduk kota tentu akan menaikkan harga penjualan barang dagangannya selaras dengan mahalnya barang-barang kebutuhan yang dijual oleh penduduk kampung.
Islam menginginkan agar di tengah masyarakat terjalin hubungan yang bersifat mutualisme (saling menguntungkan), sehingga terciptalah satu tatanan masyarakat yang adil dan harmonis.
Ketiga: Hukum menimbun barang dagangan.
Diantara bentuk penerapan terhadap prinsip ini ialah diharamkannya menimbun barang kebutuhan masyarakat banyak, karena ini berpengaruh negatif terhadap kebutuhan masyarakat luas, berupa langkanya barang kebutuhan dan kalaupun harga-harga menjadi naik, lalu pemerintah ikut sibuk mengendalikan harga-harga dengan membuat berbagai regulasi, bahkan juga disibukkan dengan operasi pasar, hanya untuk menekan harga. Semua komponen masyarakat dan pemerintah menjadi sibuk bergunjing tentang ketidakadilan, yang semua itu dipicu oleh orang-orang serakah yang dikuasai hawa nafsu meraih untung sebesar-besarnya. Perhatikanlah ketika Nabi a bersabda,
“Barang siapa yang menimbun (barang) maka dia telah berbuat dosa.” (Diriwayatkan oleh Muslim).
Keempat: Hukum memperjual-belikan barang-barang yang meresahkan masyarakat.
Dan diantara penerapan terhadap prinsip ini adalah diharamkannya memperdagangkan barang-barang yang dapat menimbulkan fitnah dan kerusakan di tengah-tengah masyarakat, misalnya menjual senjata disaat terjadi perang saudara diantara umat islam, menjual rumah kepada orang yang akan menjadikannya sebagai tempat peribadatan orang-orang kafir, atau sebagai tempat maksiat misalnya pabrik minuman keras, tempat perjudian atau hal-hal serupa.
Peredaran barang-barang haram semacam ini di tengah-tengah masyarakat, pasti menimbulkan keresahan dan merusak moral sebagian mereka. Dan tentu praktek perdagangan seperti ini bertentangan dengan prinsip Islam untuk saling menolong dalam kebaikan dan takwa dan tidak saling menolong dalam dosa dan permusuhan.
Perinsip kelima: Kejujuran
Perinsip ke enam: kecuarangan dalam bisnis dan berdagang adalah penyebab pacekelik
Perinsip ketujuh: Niat seseorang mempengaruhi hukum transaksi
Prisip ke delapan: Peran adat istiadat dalam bisnis dan berdagang
Ke delapan prinsip ini diuraikan dengan sangat apik oleh Dr. Muhammad Arifin Badri MA, dan tidak hanya semata uraian ilmah, tetapi juga study kasus sebagaimana yang terjadi di masyarakat Indonesia. Karena itu, buku ini terintegrasi sebagai kebutuhan akademisi maupun praktisi, sehingga sangat patut dikaji oleh semua lapisan masyarakat.
Lebih dari itu, pada bab kelima: penulis mengukuhkan pembahasan mengenai prinsip-prinsip penting dalam bisnis dan berdagang, dengan pembahasan yang penting pula yaitu: syarat-syarat Akad dalam jual-beli dan bisnis. Ini adalah salah satu bagian yang sangat penting dari buku ini. Dan tentu tidak mungkin kami sajikan secara utuh di dalam resensi ini. Maka kami kutipkan sebagian darinya.
Di antaranya adalah: Barang yang diperjual-belikan kegunaannya halal.
Dalam bagian ini, setelah penulis menguraikan syarat ini berdasarkan dalil-dalil dan berbagai segi yang berkaitan dengannya, penulis kemudian mengaitkanya dengan berbagai masalah faktual yang terjadi di tengah masyarakat, seperti:
– Hukum memperjual-belikan serangga.
– Hukum memperjual-belikan anjing dan kucing.
– Hukum memperjual-belikan barang haram.
– Hukum memperjual-belikan alat-alat musik & tembakau.
– Hukum memperjual-belikan alat-alat kecantikan wanita dan yang serupa.
– Hukum memperjual-belikan domba atau ayam sabung.
Syarat lain adalah: Yang menjalankan akad jual-beli adalah pemilik atau yang mewakilinya. Ini mencakup pembahasan tentang:
– Hukum menjual barang orang lain.
– Hukum menjual barang yang belum selesai diserah-terimakan.
– Hukum perkreditan mobil, rumah dan yang serupa.
– Hukum menjual air dan rumput.
Penulis menyebutkan tidak kurang dari delapan syarat yang harus terpenuhi dalam akad sehingga menjadi sah dan di benarkan oleh Syari’at. Semuanya dapat Anda kaji secara detil dan lengkap dengan penerapannya secara ril.
Ada begitu banyak masalah ilmiah dan faktual yang luput dari perhatian banyak orang di antara kita terkait dengan bisnis secara umum dan jual beli secara khusus, padahal semuanya telah digariskan oleh Allah dan RasulNya. Dan semua kajian dalam buku ini berdasarkan dalil-dalil yang kokoh dari al-Qur`an dan as-Sunnah, ditopang dengan kaidah-kaidah fikih dan ushul fikih, serta tarjih pendapat para ulama jika dalam suatu kasus memang ada beda pendapat.
Karena itu, buku ini bagaikan membentangkan satu jembatan emas untuk meraih dua cita-cita besar sekaligus, yaitu: sukses sebagai pedagang dan pebisnis Muslim sesuai Syari’at dan keridhaan Allah karena aktifitas duniawi yang dijalankan berdasarkan apa-apa yang telah Allah gariskan.
Karena itu, buku ini layak dibaca oleh setiap Muslim.
Pemesanan, klik : Pesan Buku Fikih Perniagaan
SMS/WA. 0813 8236 1477