Sumber : Mukhtashar Minhajul Qashidin; Meraih Kebahagiaan Hakiki Sesuai Tuntuna Ilahi
Puasa mempunyai tiga tingkatan: Puasa umum, puasa khusus, dan puasa khusus dari yang khusus.
Puasa umum adalah menahan perut dan kelamin dari memenuhi hawa nafsunya.
Puasa khusus adalah menahan pandangan, lisan, tangan, kaki, pendengaran, dan anggota badan lainnya dari dosa-dosa.
Puasa khusus dari yang khusus adalah puasa hati dari keinginan yang rendah, pikiran yang menjauhkan dari Allah, menahannya dari selain Allah secara total. Puasa ini memerlukan penjelasan yang hadir bukan di sini.
Di antara adab puasa khusus adalah menundukkan pandangan dan menjaga lisan dari mengucapkan kata-kata yang menyakiti, berupa kata-kata yang haram atau makruh atau kata-kata yang tidak berguna serta menjaga anggota tubuh lainnya.
Dalam hadits dari riwayat al-Bukhari bahwa Nabi [Islamic phrases=”Shallallahu ‘alaihi wa Sallam”]H[/Islamic] bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلّٰهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.
“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak memerlukan dia meninggalkan makanan dan minumannya.”[1]
Adabnya yang lain adalah tidak mengisi penuh perut dengan makanan di malam hari, sebaliknya hanya makan sebatas kebutuhan, karena,
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ.
“Tidaklah anak cucu Nabi Adam mengisi bejana yang lebih buruk daripada perut.”[2]
Bila di awal malam sudah kenyang, maka orang tersebut tidak dapat mengambil manfaat di sisa malamnya. Demikian pula, bila dia kenyang saat sahur, maka dia tidak mengambil manfaat dari waktunya sampai menjelang Zhuhur, karena banyak makan menyebabkan kemalasan dan menjadikan badan terasa berat. Tujuan dari puasa terlewatkan dengan banyak makan, karena yang dimaksud darinya adalah supaya dia merasakan kelaparan dan meninggalkan syahwatnya.
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1903; Ahmad, no. 9820; Abu Dawud, no. 2362 dan tercantum dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 2070; at-Tirmidzi, no. 707 dan tercantum dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 569: dari Abu Hurairah y. Lihat Shahih al-Jami’, no. 6539.
Makna hadits ini adalah bahwa Allah tidak mempedulikan dan tidak melihat amal perbuatannya, sebab dia menahan diri dari apa yang dibolehkan di selain waktu puasa namun tidak menahan diri dari apa yang diharamkan di semua waktu.
[2] Akan hadir di hal. 127-128, catatan kaki 146.