Darul Haq

PENYAKIT-PENYAKIT LISAN

Penyakit lisan banyak macamnya. Hati merasakannya manis dan didorong oleh tabiat. Tidak ada jalan selamat dari bahayanya, kecuali dengan diam. Kami akan menyebutkan dulu keutamaan diam, kemudian melanjutkannya dengan menyebutkan penyakit-penyakit lisan secara terperinci, insya Allah.

Ketahuilah bahwa diam dapat mengumpulkan hasrat keinginan dan memfokuskan pemikiran.

Dalam hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihii wa sallam  bersabda,

مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Siapa yang menjamin untukku apa yang di antara dua rahangnya dan apa yang di antara dua kakinya, maka aku menjamin surga baginya.”[1]

Dalam hadits lain,

لَا يَسْتَقِيْمُ إِيْمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيْمَ قَلْبُهُ، وَلَا يَسْتَقِيْمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيْمَ لِسَانُهُ

“Iman seorang hamba tidak lurus sehingga hatinya lurus dan hati-nya tidak akan lurus sehingga lisannya lurus.”[2]

Dalam hadits Mu’adz di bagian akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihii wa sallam bersabda,

كُفَّ عَلَيْكَ هٰذَا. فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ -أَوْ قَالَ: عَلَى مَنَاخِرِهِمْ- إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟

“Tahanlah ini atasmu.” Maka aku berkata, “Ya Rasulullah, apakah kami disiksa karena apa yang kami katakan?” Beliau menjawab, “Engkau kehilangan ibumu wahai Mu’adz, apakah ada yang membuat manusia terjatuh ke dalam neraka di atas wajahnya, -atau (kalau tidak salah) Nabi bersabda, di atas hidungnya- kecuali hasil-hasil lidah mereka?”[3]

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

مَا شَيْءٌ أَحْوَجَ إِلَى طُوْلِ سِجْنٍ مِنْ لِسَانِيْ.

“Tidak ada sesuatu pun yang lebih membutuhkan untuk dipenjara dalam waktu yang lama daripada lidahku.”

Abu ad-Darda` radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَنْصِفْ أُذُنَيْكَ مِنْ فِيْكَ، فَإِنَّمَا جُعِلَتْ لَكَ أُذُنَانِ وَفَمٌ وَاحِدٌ لِتَسْمَعَ أَكْثَرَ مِمَّا تَتَكَلَّمُ بِهِ.

“Penuhi hak dua telingamu daripada mulutmu, karena sesungguhnya engkau diberi dua telinga dan satu mulut agar engkau lebih banyak mendengar daripada berbicara.”

Penyakit-penyakit Lisan

Penyakit Pertama: Berbicara sesuatu yang tidak penting

Penyakit Kedua: Berbicara dalam kebatilan, yakni, membicarakan kemaksiatan, seperti membicarakan majelis khamar dan pertemuan orang-orang fasik.

Tidak jauh berbeda dengannya adalah berbantah-bantahan dan berdebat, banyak membantah orang untuk menjelaskan kekeliruannya dan mengakui kesalahannya. Faktor pendorong untuk melakukan hal ini adalah merasa lebih tinggi.

Seseorang patut mengingkari kata-kata yang mungkar, menjelaskan sisi yang benar, bila diterima (maka itulah kebaikan), dan bila tidak maka tidak perlu berbantah-bantahan. Hal ini bila perkaranya berkaitan dengan agama, adapun bila berkaitan dengan perkara dunia, maka tidak ada alasan untuk berdebat. Obat penyakit ini adalah menghilangkan kesombongan yang mendorong seseorang untuk menampakkan kelebihannya. Berbantah-bantahan yang paling berat adalah pertikaian, ia lebih dari sekadar berbantah-bantahan.

Dari Nabi shallallahu ‘alaihii wa sallam bahwa beliau bersabda,

أَبْغَضُ الرِّجَالِ إِلَى اللّٰهِ الْأَلَدُّ الْخَصِمُ.

“Laki-laki yang paling dibenci oleh Allah adalah yang paling keras penentangannya.”[4]

Pertikaian yang kami maksud adalah pertikaian dengan kebatilan atau tanpa ilmu. Adapun orang yang berada di atas kebenaran, maka yang lebih baik adalah berpaling dengan meninggalkannya sebisa mungkin, karena hal itu membuat dada sempit, memicu amarah, menimbulkan hasad, dan menyeret-nyeret kehormatan.

Penyakit Ketiga: Memaksakan diri dalam berbicara; memfasih-fasihkan dan memaksakan diri membuat sajak.

Penyakit Keempat: Suka berkata-kata keji, cacian, jorok dan yang sepertinya. Ini tercela dan dilarang, sumbernya adalah keburukan dan kebusukan.

Dalam hadits disebutkan,

إِيَّاكُمْ وَالْفُحْشَ، فَإِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْفُحْشَ وَلَا التَّفَحُّشَ.

“Jauhilah kata-kata keji (buruk); karena sesungguhnya Allah tidak menyukai kata-kata keji dan sengaja mengucapkan kata keji.”[5]

Ketahuilah bahwa kata-kata keji dan jorok adalah ungkapan tentang hal-hal yang buruk dengan kata-kata yang langsung, kebanyakan digunakan untuk persetubuhan (berbau porno) dan hal-hal yang berkenaan dengannya. Orang-orang baik menjauhi ungkapan-ungkapan seperti ini dan menggantinya dengan kata-kata sindiran.

Penyakit Kelima: Suka bersenda gurau. Sedikit darinya tidak mengapa bila memang benar.

Nabi terkadang bergurau tetapi beliau tidak berkata kecuali yang benar.[6] Beliau pernah bersabda kepada seorang laki-laki,

يَا ذَا الْأُذُنَيْنِ.

“Wahai pemilik sepasang telinga.”[7]

Nabi shallallahu ‘alaihii wa sallam juga bersabda kepada orang lain,

إِنَّا حَامِلُوْكَ عَلَى وَلَدِ النَّاقَةِ.

“Kami akan mengangkutmu di atas anak unta betina.”[8]

Gurauan Nabi shallallahu ‘alaihii wa sallam mengumpulkan tiga titik:

Pertama: Kebenaran.

Kedua: Kepada kaum wanita dan anak-anak serta laki-laki lemah yang memerlukan didikan.

Ketiga: Jarang. Maka siapa yang ingin bergurau terus-menerus tidak selayaknya beralasan dengan gurau Nabi tersebut, karena hukum sesuatu yang jarang tidak sama dengan hukum yang terus-menerus. Berlebih-lebihan dalam gurau dan canda dilarang, karena ia menjatuhkan wibawa, menanamkan kebencian dan permusuhan. Untuk yang sedikit tidak mengapa seperti gurau Nabi, karena ia menunjukkan keakraban dan kebaikan jiwa.

Penyakit Keenam: Menghina dan mengejek, maksudnya merendahkan dan meremehkan, membuka aib dan kekurangan, sehingga mengundang tertawa. Hal itu bisa dengan menirukan kata-kata atau perbuatan, bisa juga dengan isyarat tangan atau mata, semua itu dilarang dalam syariat, larangannya disebutkan dalam al-Qur`an dan as-Sunnah.

Penyakit Ketujuh: Membuka rahasia dan menyelisihi janji, dusta dalam kata-kata dan sumpah, semua itu dilarang, kecuali dusta yang dibolehkan terhadap istri, saat perang, karena hal itu mubah.

Penyakit Kedelapan: Gibah. Al-Qur`an mengharamkannya, pelakunya disamakan dengan orang yang makan bangkai.

Ali bin al-Husain radhiyallahu ‘anhu berkata,

إِيَّاكَ وَالْغِيْبَةَ فَإِنَّهَا إِدَامُ كِلَابِ النَّاسِ.

“Jauhilah gibah, karena ia adalah lauk anjing-anjing manusia.”

Hadits-hadits dan atsaratsar dalam hal ini berjumlah banyak.

Makna gibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dia benci bila terdengar olehnya, baik berupa kekurangan pada tubuhnya seperti rabun, cacat satu mata, juling, botak, jangkung, pendek, dan yang sepertinya. Atau pada nasabnya seperti bapaknya orang Nibthi, atau orang India, atau fasik, atau rendah dan yang sepertinya. Atau pada akhlaknya seperti dia berakhlak buruk, kikir, sombong dan yang sepertinya. Atau pada bajunya seperti ekor bajunya panjang, lengan bajunya terlalu lebar, dan bajunya kotor.

Dalil dalam hal ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihii wa sallam ditanya tentang gibah, maka beliau menjawab,

ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ.

Engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak dia sukai.” Dia bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bila apa yang aku katakan itu benar ada pada saudaraku?” Rasulullah menjawab, “Bila apa yang engkau katakan memang ada pada saudaramu, maka engkau sudah menggibahnya, bila tidak ada, maka engkau sudah menuduhnya secara keji (memfitnahnya).”[9]

Ketahuilah bahwa orang yang mendengar gibah adalah ikut serta dalam menanggung dosa gibah. Dia tidak terbebas dari dosa mendengarnya kecuali dengan mengingkari dengan kata-kata. Jika takut maka dengan hatinya. Jika dia mampu berdiri, atau memutus kata-katanya dengan kata-kata yang lain, maka dia harus melakukannya.

PASAL

Sebab-sebab yang Mendorong Gibah dan Terapinya

Sebab-sebab yang mendorong gibah berjumlah banyak.

Pertama, melampiaskan amarah,

Kedua, menyetujui sikap kawan-kawan dan teman-teman, mencari muka dan membantu mereka.

Ketiga, keinginan mengangkat diri dengan merendahkan orang lain, misalnya dia berkata, “Fulan bodoh, pemahamannya lemah.” Atau yang seperti itu, tujuannya di balik itu adalah menampakkan keunggulan dirinya, memperlihatkan bahwa dia lebih pandai darinya.

Keempat, main-main dan gurau, yaitu dengan menyebut orang lain dengan sesuatu yang membuat orang-orang tertawa dengan cara menirunya, sampai-sampai ada orang yang menjadikan hal ini sebagai profesi.

Untuk mengobati gibah, hendaknya pelakunya menyadari bahwa perbuatannya tersebut mengundang murka dan amarah Allah , bahwa kebaikannya akan disandarkan kepada korbannya. Jika dia tidak mempunyai kebaikan, maka keburukan korban akan dipikulkan kepadanya. Barangsiapa mengingat-ingat semua ini, niscaya dia tidak melepaskan lisannya untuk gibah.

Jika dia menyangka dirinya bebas dari aib, maka hendaknya menyibukkan diri dengan bersyukur kepada Allah, tidak perlu mengotori diri dengan aib paling buruk yaitu gibah. Sebagaimana dia tidak rela orang lain menggibahnya, maka semestinya dia juga tidak rela menggibah orang lain.

Maka hendaknya setiap orang memperhatikan sebab yang mendorongnya melakukan gibah, berusaha semampunya untuk memutuskannya, karena obat suatu penyakit adalah dengan menghilangkan sebabnya. Kami sudah menyebutkan sebagian dari sebab-sebabnya, mengobati amarah dengan apa yang akan hadir dalam Kitab Amarah. Mengobati sikap mencari muka dengan mengetahui bahwa Allah marah terhadap siapa yang mencari ridha makhluk dengan murkaNya. Sebaliknya dia patut marah kepada rekan-rekannya, mengobati yang lainnya juga seperti ini.

Penyakit Kesembilan dari penyakit lisan adalah: Namimah. Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihii wa sallam bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ.

“Tidak akan masuk surga orang yang gemar (menyebar) namimah.”[10]

Penyakit Kesepuluh: Kata-kata orang yang memiliki dua lidah yang mondar-mandir di antara dua pihak yang berseteru, menukil kata-kata satu pihak kepada pihak yang lainnya, berbicara kepada masing-masing pihak dengan kata-kata yang disukai atau berjanji membantunya atau menyanjung satu pihak di depannya dan mencela yang lain.

Dalam hadits disebutkan,

إِنَّ شَرَّ النَّاسِ ذُو الْوَجْهَيْنِ، الَّذِيْ يَأْتِي هٰؤُلَاءِ بِوَجْهٍ وَهٰؤُلَاءِ بِوَجْهٍ.

“Sesungguhnya manusia paling buruk (paling jahat) adalah pemilik dua wajah yang datang kepada pihak ini dengan satu wajah dan datang kepada pihak yang lain dengan wajah lain.”[11]   

Diringkas dari buku terjemah Mukhtashar Minhajul Qashidin Cet. Shafar 1445 H hal. 279 – 300, Pustaka Darul Haq.


[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6474 dari Sahl bin Sa’ad y.

[2] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 13032; Ibnu Abi ad-Dunya, al-Khara’ithi, al-Baihaqi dan didhaifkan oleh al-Iraqi.

[3] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan tercantum dalam Shahih Sunan at-Tirmi-dzi, no. 2616; Ibnu Majah, no. 3973 dan tercantum dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 3209 dan dishahihkan pula oleh al-Albani dalam Irwa` al-Ghalil, no. 413.

[4] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 7188; Muslim, no. 2668; at-Tirmidzi, no. 2976 dan tercantum dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 2377; an-Nasa`i dan tercantum dalam Shahih Sunannya, no. 5013: dari Aisyah i. Hadits ini juga bisa dilihat dalam Shahih al-Jami’ , no. 39.

[5] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 6484, 6789, 6834: dari Ibnu Amr p. Ahmad juga meriwayatkan hadits semakna, no. 9548: dari Abu Hurairah y, dan kedua hadits ini tercantum dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 858, bagian keduanya di Muslim, no. 2165: dari Aisyah.

[6] Akhlak Nabi sudah dijelaskan di hal. 264-267. Lihat Dha’if al-Jami’ ash-Shaghir, no. 2667.

[7] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 12148, 12270, 13528, 13723; Abu Dawud, no.  5002 dan tercantum dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 3182; at-Tirmidzi, no. 1992, 3828 dan tercantum dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 1622, 3009: dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dan hadits ini juga tercantum dalam Shahih al-Jami’ , no. 7909 dan Misykah al-Mashabih, no. 4887.

[8] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 13801 dari Anas radhiyallahu ‘anhu, at-Tirmidzi, no. 1992 hadits ini tercantum dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 1623.

[9] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2589; Abu Dawud, no. 4874 dan tercantum dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 4079; at-Tirmidzi, no. 1934 dan tercan-tum dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 1578: dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

[10] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6056; Muslim, no. 105; Abu Dawud, no. 4871 dan tercantum dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 4076; at-Tirmidzi, no. 2026 dan tercantum dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 1649: dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, dan hadits ini juga bisa dilihat dalam Shahih al-Jami’, no. 7672 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 1034.

[11] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 7179 dan Muslim, no. 2526: dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Loading

Home
Akun
Order
Chat
Cari