Darul Haq

Penyakit-penyakit Ilmu, Berikut Keterangan Tentang Ulama Su` dan Ulama Akhirat

Ulama su`[1] adalah para ulama yang menjadikan ilmu sebagai alat untuk mendapatkan kenikmatan dunia dan meraih kedudukan di tengah-tengah manusia. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallohu’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللّٰهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

“Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang seharusnya hanya dicari karena Wajah Allah, tetapi dia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan harta dunia, maka dia tidak akan mencium aroma surga di Hari Kiamat.”[2]

Dalam hadits lain beliau bersabda,

مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ، وَيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ، أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوْهَ النَّاسِ إِلَيْهِ، فَهُوَ فِي النَّارِ.

“Barangsiapa menuntut ilmu untuk menyaingi para ulama dan mendebat orang-orang bodoh, atau memalingkan wajah manusia kepadanya, maka dia di neraka.”[3] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi.

Dan masih banyak hadits lain dalam masalah ini.

Sebagian ulama Salaf berkata, “Orang yang paling besar penyesalannya saat mati adalah ulama yang lalai (menyianyiakan ilmunya).”

Ketahuilah, bahwa kewajiban yang dibebankan di pundak orang yang berilmu adalah hendaknya dia menegakkan perintah dan larangan. Dia tidak harus menjadi orang zuhud atau berpaling dari hal-hal yang mubah, hanya saja dia patut meminimalkan diri dari dunia sebisa mungkin, sebab tidak semua badan bisa menerima yang sedikit; karena manusia memang bertingkat-tingkat kemampuannya.

Diriwayatkan bahwa makanan Imam Sufyan ats-Tsauri  bermutu bagus, dan beliau berkata, “Hewan yang tidak diberi makan yang baik, ia tidak bekerja dengan bagus.”

Imam Ahmad bin Hanbal  adalah orang yang sabar menghadapi kesulitan penghidupan (rizki) sekalipun menghadapi perkara besar.

Maka tabiat manusia memang berbeda-beda tingkatan (kesanggupannya).

Di antara sifat ulama akhirat adalah mereka menyadari bahwa dunia itu remeh, bahwa akhirat itu mulia, dunia dan akhirat adalah istri dengan madunya. Para ulama akhirat mengutamakan akhirat, perbuatan mereka tidak bertentangan dengan perkataan mereka, kecenderungan mereka tertuju kepada ilmu yang bermanfaat di akhirat, menjauhi ilmu yang manfaatnya sedikit demi mementingkan ilmu yang manfaatnya agung. Sebagaimana diriwayatkan dari Syaqiq al-Balkhi bahwa dia pernah berkata kepada Hatim, “Engkau sudah menyertaiku sekian lama, apa yang telah engkau pelajari?” Dia menjawab, “Delapan masalah:

Pertama: Aku memperhatikan manusia, dan ternyata setiap orang mempunyai orang yang dicintainya. Bila sudah tiba di kuburan, maka keduanya berpisah, maka aku menjadikan kecintaanku pada kebaikan-kebaikanku agar ia senantiasa bersamaku hingga dalam kubur.

Kedua: Aku membaca Firman Allah,

‘Dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya.‘ (An-Nazi’at: 40),

maka aku berupaya keras agar jiwaku melawan hawa nafsu, sehingga ia bersemayam di atas ketaatan kepada Allah.

Ketiga: Aku melihat orang yang mempunyai sesuatu yang berharga, maka dia akan menjaganya, kemudian aku memperhatikan Firman Allah,

‘Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.’ (An-Nahl: 96),

maka setiap aku mempunyai sesuatu yang berharga, aku memberikannya kepada Allah agar ia tetap terjaga di sisiNya.

Keempat: Aku melihat orang-orang berlomba-lomba dalam urusan harta, kedudukan, dan kemuliaan, padahal ia bukan apa-apa, lalu aku memperhatikan Firman Allah,

‘Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.’ (Al-Hujurat: 13),

maka aku berusaha bertakwa agar menjadi orang mulia di sisi Allah.

Kelima: Aku melihat orang-orang saling dengki, lalu aku memperhatikan Firman Allah,

‘Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.’ (Az-Zukhruf: 32),

maka aku meninggalkan sifat dengki.

Keenam: Aku melihat manusia saling bermusuhan, lalu aku memperhatikan Firman Allah,

‘Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu).‘ (Fathir: 6),

maka aku tidak memusuhi manusia dan (sebaliknya) menjadikan setan sebagai musuh satu-satunya.

Ketujuh: Aku melihat manusia merendahkan diri mereka dalam mencari rizki, maka aku memperhatikan Firman Allah,

‘Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya.’ (Hud: 6),

maka aku menyibukkan diriku dengan apa yang menjadi hak Allah atasku dan meninggalkan hakku di sisiNya.

Kedelapan: Aku melihat mereka bertawakal (mengandalkan) perdagangan, pekerjaan, dan kesehatan tubuh mereka, maka aku bertawakal kepada Allah.”

Di antara sifat ulama akhirat lainnya adalah bahwa mereka menahan diri dari para sultan (penguasa), menjaga jarak dalam bergaul dengan mereka.

Hudzaifah  berkata,

إِيَّاكُمْ وَمَوَاقِفَ الْفِتَنِ. قِيْلَ: وَمَا هِيَ؟ قَالَ: أَبْوَابُ الْأُمَرَاءِ، يَدْخُلُ أَحَدُكُمْ عَلَى الْأَمِيْرِ، فَيُصَدِّقُهُ بِالْكَذِبِ، وَيَقُوْلُ مَا لَيْسَ فِيْهِ.

“Jauhilah tempat-tempat fitnah.” Beliau ditanya, “Apa itu?” Beliau menjawab, “Pintu-pintu para penguasa. Salah seorang di antara kalian datang kepada penguasa lalu dia membenarkannya dalam kebohongan dan mengatakan apa yang tidak ada padanya.”

Sa’id bin al-Musayyib berkata,

إِذَا رَأَيْتُمُ الْعَالِمَ يَغْشَى الْأُمَرَاءَ، فَاحْذَرُوْا مِنْهُ فَإِنَّهُ لِصٌّ.

“Bila engkau melihat seorang alim keluar masuk menuju para penguasa, maka waspadailah dia, karena dia adalah maling.”

Sebagian ulama Salaf berkata,

إِنَّكَ لَا تُصِيْبُ مِنْ دُنْيَاهُمْ شَيْئًا إِلَّا أَصَابُوْا مِنْ دِيْنِكَ أَفْضَلَ مِنْهُ.

“Sesungguhnya engkau tidak mendapatkan dunia (harta) para penguasa sedikit pun melainkan mereka mendapatkan dari agamamu yang lebih utama daripada itu.”

Di antara sifat ulama akhirat yang lain adalah tidak terburu-buru dalam berfatwa, tidak berfatwa kecuali dengan apa yang dipastikan kebenarannya. Ulama Salaf saling menolak memberikan fatwa sehingga pertanyaan itu kembali lagi kepada orang pertama.

Abdurrahman bin Abu Laila berkata, “Di masjid ini aku sempat mendapatkan (berjumpa dengan) 120 orang sahabat Rasulullah shallallohu’alaihi wa sallam, tidak seorang pun dari mereka yang ditanya tentang hadits atau fatwa kecuali dia berharap saudaranya yang menjawabnya.”

Kemudian keadaan sekarang telah berubah dengan munculnya orang-orang yang mengaku berilmu, mereka berani menjawab masalah-masalah yang seandainya ia sodorkan kepada Umar bin al-Khaththab, niscaya dia akan mengumpulkan para sahabat yang ikut Perang Badar untuk meminta pendapat mereka.

Di antara sifat mereka adalah hendaknya mayoritas kajian mereka terfokus kepada ilmu amal perbuatan, yaitu tentang apa yang merusaknya, memperkeruh hati dan memicu was-was, karena bentuk luar amal memiliki kemiripan dan mudah, sebaliknya yang sulit adalah membersihkannya. Dasar agama adalah menjaga diri dari keburukan, dan hal ini tidak terwujud kecuali bila dia mengetahuinya.

Di antara sifat mereka adalah mengkaji rahasia-rahasia amal-amal syar’i, memperhatikan hikmah-hikmahNya, tetapi bila tidak mampu mengetahui alasan hukum (dan hikmahnya), maka cukup dengan berserah diri kepada syariat.

Di antara sifat mereka adalah mengikuti para sahabat dan tabi’in terpilih dan menjauhi semua bid’ah.

Sumber : Terjemah kitab Mukhtashar Minhajul Qashidin: Meraih Kebahagian Hakiki Sesuai Tuntunan Ilahi, Hal. 35-40, Pustaka Darul Haq


[1]    Bacalah buku Talbis Iblis karya Imam Ibnul Jauzi, buku ini membongkar ulama su` secara panjang lebar, buku ini ditahqiq oleh Isham al-Harastani dan takhrij Muhammad az-Zaghali, cetakan al-Maktab al-Islami.

[2]    Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, no. 8431; Abu Dawud, no. 3664 dan ter-cantum dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 3114; dan Ibnu Majah, no. 252 dan tercantum dalam Shahih Ibnu Majah, no. 204. Lihat pula Shahih al-Jami’, no. 6159.

[3]    Diriwayatkan secara harfiyah (lengkap seperti ini) oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath dan al-Bazzar, no. 178 sebagaimana dalam Majma’ az-Zawa`id, 1/183 dari Anas y. Dengan lafazh mirip diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 260: dari Abu Hurairah y dan tercantum dalam Shahih Ibnu Majah, no. 209; juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 253: dari Ibnu Umar p dan tercan-tum dalam Shahih Ibnu Majah, no. 205; dan at-Tirmidzi, no. 2653: dari Ka’ab bin Malik y dan tercantum dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 2138.

Loading

Home
Akun
Order
Chat
Cari