Mimpi itu ada tiga macam;
yang dari Allah (rahmani), ada yang dari bisikan diri (nafsani), dan ada pula yang dari setan (syaithani).
Ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Bukhari,
“Mimpi itu ada tiga yaitu: Mimpi yang baik adalah kabar gembira dari Allah, dan mimpi yang lainnya adalah kesedihan yang berasal dari bisikan setan, serta mimpi dari sesuatu yang dibisikkan oleh seseorang pada jiwanya.”
Mimpi para nabi adalah wahyu, statusnya ma’shum dan terlindung dari keburukan setan, seperti mimpi Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam tentang perintah untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail ‘Alaihissalam.
Sedangkan mimpi selain para nabi itu harus dipertimbangkan dengan wahyu yang jelas. Apabila mimpi tersebut sesuai dengan wahyu, maka ia benar adanya, dan jika tidak sesuai atau bahkan bertentangan, maka tidak boleh diamalkan.
Barangsiapa yang ingin mimpinya benar, maka hendaklah dia menjaga kejujuran, memakan harta yang halal, dan menjaga perkara yang disyariatkan, serta menjauhi apa-apa yang dilarang Allah dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian hendaklah dia tidur dalam keadaan suci secara sempurna dengan menghadap kiblat, lalu berdzikir (mengingat dan menyebut) Allah hingga matanya terpejam.
Mimpi yang paling jujur adalah mimpi di waktu sahur, sepertiga malam yang terakhir; karena waktu itu berbarengan dengan waktu turunnya Allah dan diamnya setan-setan. Sebaliknya, mimpi di waktu permulaan petang adalah mimpi ketika setan-setan bergentayangan.
Sumber: Buku Adab & Akhlak Islami Berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah, Hal. 245, Penerbit Darul Haq