Dari Buku Rahasia di Balik Berbakti Kepada Orangtua
Muhammad bin al-Munkadir berkata, “Saudaraku melewati malam dengan shalat, sedangkan aku bermalam dengan memijit kaki ibuku. Dan tidaklah aku berkeinginan untuk menukar malamku dengan malamnya.”
(Siyar A’lam an-Nubala`, )
Letakkanlah Telapak Kakimu di Atas Pipiku
Muhammad bin al-Munkadir (tabi’in, w. 131 H.) meletakkan pipinya di atas tanah, lalu dia berkata kepada ibunya, “Bangkitlah wahai ibu. Letakkanlah telapak kakimu di atas pipiku.” (Hilyah al-Auliya` wa Thabaqat al-Ashfiya`, Abu Nu’aim al-Ashbahani, 3/150).
Bukan Termasuk Berbakti
Urwah bin az-Zubair (tabi’in, w. 93 H.) berkata, “Tidaklah berbakti kepada bapaknya, orang yang memelototi bapaknya.” (Siyar A’lam an-Nubala`, Syamsuddin adz-Dzahabi, 4/433).
Bakti Umar bin Dzar Kepada Bapaknya
Manakala Umar bin Dzar (tabi’ at-tabi’in, w. 153 H) meninggal dunia, maka orang-orang bertanya kepada bapaknya, Dzar, “Bagaimana dia berinteraksi denganmu?”
Dia menjawab, “Tidaklah dia sama sekali berjalan bersamaku di malam hari, melainkan pasti dia berada di depanku. Tidaklah dia sama sekali berjalan bersamaku di siang hari, melainkan pasti dia berada di belakangku. Dia sama sekali tidak pernah naik atap ketika aku berada di bawahnya.” (Birr al-Walidain, karya ath-Thurthusyi, hal. 63).
Takut Makan Bersama Ibunya
Diriwayatkan dari Ali bin al-Husain (tabi’in, w. 93 H.) bahwa dia takut makan bersama ibunya dalam satu meja. Maka dia ditanya tentang hal itu, dia menjawab, “Aku takut bilamana tanganku mendahului makanan yang telah dilihat lebih dahulu oleh ibuku, sehingga aku menjadi durhaka kepadanya.” (Ibid, hal. 63).
Menyuapi Ibunya Dengan Tangannya
Dari Muhammad bin Sirin, dia berkata, “Di zaman Utsman bin Affan [Islamic phrases=”Radhiyallahu ‘anhu”]I[/Islamic], harga pohon kurma mencapai seribu dirham, lalu Usamah bin Zaid bin Haritsah (sahabat Nabi, w. 54 H.) menuju satu pohon kurma, lalu menebangnya dan mengambil hati pohon kurma (yang terletak di pucuknya) dan menyuapkannya kepada ibunya. Maka mereka bertanya kepadanya, ‘Apa yang mendorongmu melakukan tindakan ini, padahal engkau mengetahui bahwa satu pohon berharga seribu dirham.’ Dia menjawab, ‘Sesungguhnya ibuku[1] memintanya, dan tidaklah dia meminta kepadaku sesuatu yang aku mampu memenuhinya, melainkan pasti aku akan memberikannya’.” (Shifah ash-Shafwah, 1/522).
Orang yang Paling Berbakti dari Kalangan Umat Ini
Aisyah [Islamic phrases=”Radhiyallahu ‘anha”]J[/Islamic] berkata, “Ada dua laki-laki dari sahabat Rasulullah [Islamic phrases=”Shallallahu ‘alaihi wa Sallam”]z[/Islamic] yang paling berbakti di kalangan umat ini kepada ibunya; Utsman bin Affan dan Haritsah bin an-Nu’man [Islamic phrases=”Radhiyallahu ‘anhuma”]L[/Islamic].
Adapun Utsman, maka dia telah berkata, ‘Aku tidak mampu memandang ibuku (karena segan) sejak aku masuk Islam.’
Sedangkan Haritsah, maka dia biasa membersihkan kutu (rambut) kepala ibunya, menyuapinya dengan tangannya, dan dia tidak pernah sama sekali meminta penjelasan ketika ibunya memerintahkan sesuatu kepadanya, hingga akhirnya sesudah dia keluar dia bertanya kepada orang yang di dekat ibunya, ‘Apa yang diinginkan ibuku?'” (Birr al-Walidain, karya Ibnu al-Jauzi, hal. 52).
Mana yang Lebih Utama
Muhammad bin al-Munkadir berkata, “Saudaraku melewati malam dengan shalat, sedangkan aku bermalam dengan memijit kaki ibuku. Dan tidaklah aku berkeinginan untuk menukar malamku dengan malamnya.” (Siyar A’lam an-Nubala`, Syamsuddin adz-Dzahabi, 5/359).
Bakti Kahmas
Kahmas (shughra tabi’in, tabi’in generasi akhir, w. 149 H.) pernah bekerja membuat kapur dengan upah dua daniq[2] perhari, lalu bila masuk sore hari, dia membeli buah-buahan dengan hasil upahnya, kemudian membawanya kepada ibunya. (Hilyah al-Auliya` wa Thabaqat al-Ashfiya`, Abu Nu’aim al-Ashbahani, 6/212).
Seorang Imam Memberi Makan Ayam
Suatu ketika Haiwah bin Syuraih (Kibar al-Atba’, tokoh tabi’in, w. 158 H.) -salah seorang imam kaum Muslimin- duduk di halaqahnya sedang mengajar orang-orang. Lalu ibunya datang seraya berkata, “Wahai Haiwah, bangkitlah! Berilah ayam itu jewawut.” Maka dia pun berdiri dan meninggalkan majelisnya lalu melaksanakan apa yang diperintahkan oleh ibunya. (Birr al-Walidain, karya ath-Thurthusyi, hal. 66).
Seorang Imam Yang Tidak (Berani) Mengangkat Pandangannya Kepada Ibunya
Dari Bakar bin Abbas, dia berkata, “Terkadang aku bersama Manshur bin al-Mu’tamir (Shughra min at-Tabi’in, w. 132 H.) di majelisnya, lalu ibunya -seorang wanita kasar dan keras- berteriak kepadanya, seraya berkata, ‘Wahai Manshur! Ibnu Hubairah (penguasa Bashrah dan Kufah) berkeinginan mengangkatmu sebagai hakim, mengapa kamu menolak?’ Sementara Manshur menunduk, menempelkan jenggotnya ke dadanya, dia tidak mengangkat pandangannya (karena segan) kepada ibunya.” (Birr al-Walidain, karya Ibnu al-Jauzi, hal. 55).
Memerdekakan Dua Budak
Dari Abdullah bin Aun (tabi’ at-tabi’in, w. 150 H.) bahwa ibunya memanggilnya, maka dia menjawabnya, lalu ternyata suaranya melampaui tinggi suara ibunya, maka dia memerdekakan dua orang budak (untuk menebus kesalahannya). (Ibid, hal. 55).
Aku berkata, “Bagaimana lagi jika dia tidak menjawab panggilan ibunya? (Tentu dia akan menebus kesalahannya dengan tebusan yang lebih berat).”
Ia (boleh) Menyengatku, Tapi Tidak (boleh) Menyengat Ibuku
Kahmas hendak membunuh kalajengking, maka kalajengking itu masuk ke sebuah lubang, lalu Kahmas memasukkan tangannya ke dalam lubang itu, sehingga dia disengatnya, maka dia ditanya (oleh orang-orang), “Bagaimana kamu (nekat) memasukkan tanganmu ke dalam lubang tersebut?” Dia menjawab, “Aku khawatir ia keluar, lalu mendekati ibuku dan menyengatnya.” (Siyar A’lam an-Nubala`, Syamsuddin adz-Dzahabi, 7/317).
Dia Terus Berdiri Hingga Ibunya Terjaga
Ummu Mis’ar meminta Mis’ar bin Kidam (Kibar al-Atba‘, w. 153 H.) untuk mengambilkan air pada suatu malam. Maka dia pergi lalu kembali dengan membawa satu geriba air. Ternyata dia mendapati ibunya telah tertidur. Maka dia tetap berada di tempatnya dengan membawa geriba di tangannya hingga pagi. (Hilyah al-Auliya` wa Thabaqat al-Ashfiya`, Abu Nu’aim al-Ashbahani, 7/17).
Kata Mutiara
Sebagian ulama berkata, “Barangsiapa menghargai bapaknya, niscaya usianya panjang. Barangsiapa menghargai ibunya, niscaya dia melihat apa yang membahagiakannya. Barangsiapa menajamkan pandangannya kepada kedua orangtuanya, maka dia telah mendurhakai keduanya.” (Birr al-Walidain, karya ath-Thurthusyi, hal. 65).
Adab Abu Hurairah [Islamic phrases=”Radhiyallahu ‘anhu”]I[/Islamic] dalam Bermuamalah dengan Ibunya
Dari Abu Hurairah [Islamic phrases=”Radhiyallahu ‘anhu”]I[/Islamic], bahwa setiap kali dia ingin keluar dari rumahnya, dia selalu berdiri di pintu kamar ibunya seraya berkata, “Assalamu ‘alaiki wa rahmatullahi wa barakatuh, wahai ibu.” Lalu ibunya menjawab, “Wa’alaikas Salam wa rahmatullahi wa barakatuh, wahai anakku.” Abu Hurairah berkata, “Semoga Allah merahmatimu, sebagaimana engkau telah mengasuhku ketika aku masih kecil.” Ibunya menjawab, “Semoga Allah merahmatimu sebagaimana kamu berbakti kepadaku ketika aku lanjut usia.”
Bila Abu Hurairah pulang, maka dia pun melakukan hal seperti itu.[3] (Makarim al-Akhlaq, karya Ibnu Abi ad-Dunya, hal. 168).
Abu Hurairah[Islamic phrases=”Radhiyallahu ‘anhu”]I[/Islamic] pernah menggendong ibunya ke WC dan mendudukkannya di atasnya saat ibunya buta. (Birr al-Walidain, karya Ibnu al-Jauzi, hal. 53).
Inilah keadaan as-Salaf ash-Shalih dengan kedua orangtua mereka. Maka bagaimanakah dengan keadaan kita? Kami memohon kepada Allah, semoga Dia tidak memurkai kita.
[1] Yaitu Ummu Aiman .
[2] Satu daniq adalah seperenam dirham + Rp. 14.352,- Ed. T.
[3] Yakni mengucapkan salam.