Hidup menjadi sebuah kenikmatan manakala istri memiliki beberapa karakteristik:
Pertama: Agama. Ini adalah dasar pokok, berdasarkan sabda Nabi [Islamic phrases=”Shallallahu ‘alaihi wa Sallam”]H[/Islamic],
عَلَيْكَ بِذَاتِ الدِّيْنِ.
“Hendaklah kamu memilih wanita yang beragama.”[1]
Jika istri tidak taat beragama, maka dia akan merusak agama suaminya dan membuatnya malu. Bila dia pencemburu, maka suami masuk ke dalam ujian dan kehidupan yang keruh selamanya.
Kedua: Berakhlak mulia, karena mudarat wanita yang berakhlak buruk lebih banyak daripada manfaatnya.
Ketiga: Memiliki fisik yang bagus. Ini juga yang dicari, karena dengannya suami bisa menjaga diri, dan karena itu laki-laki yang melamar dianjurkan melihat kepada wanita yang dilamarnya. Ada beberapa orang yang tidak mencari kecantikan dan tidak bertujuan mencari kesenangan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal [Islamic phrases=”Rahimahullah”]V[/Islamic] memilih menikahi seorang wanita yang cacat matanya daripada saudarinya yang sehat matanya; namun hal seperti ini jarang dan tabiat manusia adalah sebaliknya.
Keempat: Maharnya yang ringan. Sa’id bin al-Musayyib [Islamic phrases=”Rahimahullah”]V[/Islamic] menikahkan anak perempuannya dengan mahar hanya dua dirham.
Umar [Islamic phrases=”Radhiyallahu ‘anhu”]I[/Islamic] berkata, “Janganlah bermahal-mahal dalam urusan mahar wanita.”
Sebagaimana wanita dimakruhkan meminta mahar mahal, laki-laki juga tidak patut bertanya tentang harta calon istri. Ats-Tsauri berkata, “Bila ada seorang laki-laki menikah dan sebelumnya dia berkata, ‘Wanita itu punya apa?’ Maka ketahuilah bahwa dia itu maling.”
Kelima: Perawan, karena Rasulullah [Islamic phrases=”Shallallahu ‘alaihi wa Sallam”]H[/Islamic] menganjurkan hal itu, sebab cinta dan keramahannya kepada suami lebih besar daripada janda, sehingga mengundang kasih sayang. Sebab tabiat manusia biasanya lebih senang pada cinta pertama. Hal ini juga, menjadikan cinta suami kepadanya lebih sempurna, dan karena tabiat laki-laki cenderung tidak menyukai wanita yang telah disentuh oleh orang lain.
Keenam: Berpotensi banyak anak.
Ketujuh: Nasab, yakni berasal dari keluarga yang taat beragama dan shalih.
Kedelapan: Wanita jauh (yang bukan kerabat dekat).
Dan sebagaimana laki-laki yang hendak menikah patut melihat kepada calon istrinya, demikian juga wali wanita, patut memperhatikan agama, akhlak dan kondisi calon menantunya, sebab seorang wanita mirip sahaya dengan menikah, jika wali menikahkannya dengan laki-laki fasik atau ahli bid’ah, maka dia telah melakukan kejahatan atas anak perempuannya dan atas dirinya sendiri.
Seorang laki-laki berkata kepada al-Hasan [Islamic phrases=”Radhiyallahu ‘anhu”]I[/Islamic], “Kepada siapa aku menikahkan anak perempuanku?” Beliau menjawab, “Kepada orang yang bertakwa kepada Allah, bila dia mencintainya, maka dia memuliakannya dan bila tidak menyukainya pun dia tidak akan menzhaliminya.“
[1] Diriwayatkan oleh Muslim sesudah no. 1466: dari Jabir, al-Bukhari meriwa-yatkan dengan lafazh semakna no. 5090 dan Muslim, no. 1466: dari Abu Hurairah [Islamic phrases=”Radhiyallahu ‘anhu”]I[/Islamic].
Sumber : Mukhtashar Minhajul Qashidin; Meraih Kebahagiaan Hakiki Sesuai Tuntuna Ilahi