Diriwayatkan dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Mencari ilmu adalah fardhu (kewajiban) atas setiap Muslim.”[1] Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Ilal.
Para fuqaha berkata, “Yang dimaksud oleh hadits ini adalah ilmu fikih, karena dengannya yang halal dan yang haram diketahui.”
Para ahli tafsir dan para ahli hadits berkata, “Ia adalah ilmu al-Qur`an dan as-Sunnah, karena keduanya adalah kunci semua ilmu.”
Orang-orang sufi berkata, “Ia adalah ilmu ikhlas dan penyakit-penyakit hati.”
Orang-orang mutakallimin berkata, “Ia adalah ilmu kalam”
Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat yang tidak satu pun darinya bisa diterima.
Yang shahih adalah ilmu muamalat (interaksi) hamba dengan Tuhannya.
Muamalat yang dibebankan kepada hamba terbagi menjadi tiga: I’tiqad (Meyakini), melaksanakan, dan meninggalkan.
Bila seorang anak menginjak dewasa, maka kewajiban pertama atasnya adalah mempelajari dua kalimat syahadat, memahami maknanya, sekalipun tanpa pertimbangan dan pendalilan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mencukupkan (menerima) pembenaran (keimanan) dari orang-orang pedalaman yang kasar, tanpa mereka harus mempelajari dalil, karena hal itu adalah kewajiban (berkaitan dengan) waktu, kemudian wajib atasnya mengkaji dan berdalil. Bila waktu kewajiban shalat telah tiba, maka dia wajib mempelajari thaharah dan shalat. Bila dia hidup sampai bulan Ramadhan, maka dia wajib mempelajari puasa. Bila dia mempunyai harta dan sudah berputar satu tahun, maka dia harus mempelajari zakat. Bila waktu haji tiba dan dia termasuk mampu, maka dia wajib mempelajari manasik haji.
Adapun masalah-masalah yang harus ditinggalkan, maka ia sesuai dengan situasi dan kondisinya, karena orang buta tidak wajib mengetahui apa yang haram dilihat atasnya. Orang bisu tidak wajib mengetahui perkataan yang haram atasnya. Bila seseorang tinggal di daerah yang khamar mewabah dan sutra dipakai, maka dia wajib mengetahui keharamannya.
Adapun i’tiqad (keyakinan), maka ia wajib mengetahuinya menurut bisikan hati nurani, bila hatinya dirundung kebimbangan dalam perkara makna yang ditunjukkan oleh dua kalimat syahadat, maka dia wajib mempelajari sampai batas yang dengannya dia bisa mengusir keraguan tersebut. Bila dia hidup di negeri dengan bid’ah yang mewabah, maka dia wajib mengetahui kebenaran. Bila dia saudagar di sebuah wilayah yang mana riba dipraktikkan, maka dia wajib mempelajarinya untuk menghindarinya.
Dan seyogianya seseorang juga mempelajari iman kepada kebangkitan, surga, dan neraka.
Jelaslah dari apa yang kami katakan bahwa yang dimaksud dengan menuntut ilmu yang merupakan fardhu ain itu adalah ilmu yang berkaitan dengan kewajiban setiap individu.
Ilmu yang Termasuk Fardhu Kifayah
Ilmu yang fardhu kifayah, adalah semua ilmu yang dibutuhkan dalam rangka tegaknya urusan kehidupan, seperti ilmu pengobatan (kedokteran). Ilmu ini penting, karena tubuh perlu tetap terjaga kesehatannya. Kemudian ilmu hisab (berhitung), ia diperlukan untuk membagi warisan, wasiat, dan yang sepertinya.
Seandainya sebuah negeri tidak memiliki orang-orang yang menguasai ilmu-ilmu ini, maka mereka berdosa. Bila satu orang sudah menunaikannya, maka ia sudah cukup, dan kewajiban tersebut gugur atas yang lainnya.
Jangan merasa kaget dengan ucapan kami bahwa ilmu pengobatan dan hisab termasuk fardhu kifayah, karena dasar-dasar pencaharian juga termasuk fardhu kifayah, seperti pertanian, pembuatan kain bahkan bekam. Karena seandainya sebuah negeri tidak memiliki tukang bekam saja, niscaya tidak sedikit dari mereka yang sakit, karena Allah yang menurunkan penyakit, Dia juga yang menurunkan obatnya dan mengajak untuk menggunakannya. Ada-pun mendalami detail-detail ilmu pengobatan dan ilmu hisab, maka ia termasuk perkara lebih yang sudah cukup.[2]
Sebagian ilmu termasuk ke dalam kategori mubah, seperti ilmu tentang syair yang tidak mengandung keburukan dan ilmu sejarah peristiwa. Sebagian ilmu termasuk ilmu yang tercela seperti ilmu sihir, rajah-rajah, dan ilmu tipuan.
Adapun ilmu syar’i maka semuanya terpuji dan ia terbagi menjadi ushul (dasar) dan furu’ (cabang), pengantar dan penyempurna.
Ushul adalah kitab Allah, Sunnah Rasulullah, ijma’ umat dan atsar para sahabat. Furu’ adalah makna yang dipahami dan dimengerti akal pikiran dari ushul di atas sehingga lafazh yang diucapkan dapat dimengerti dan dipahami, dan lain sebagainya. Sebagaimana dapat dipahami dari sabda Nabi a,
لَا يَقْضِي الْقَاضِي وَهُوَ غَضْبَانُ.
“Seorang hakim tidak boleh memutuskan hukum (vonis) dalam keadaan marah”[3], bahwa hakim juga tidak boleh memutuskan hukum (vonis) dalam kondisi lapar.
Ilmu-ilmu pengantar adalah ilmu yang boleh berfungsi sebagai alat, seperti ilmu nahwu dan bahasa, keduanya adalah ilmu alat untuk memahami Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah a.
Sedangkan ilmu-ilmu penyempurna adalah seperti ilmu qira`at dan makhraj huruf, seperti ilmu tentang biografi rawi-rawi hadits, ‘adalah (kelurusan pribadinya) dan keadaan mereka. Semua itu termasuk ilmu syar’i dan semuanya terpuji.
[1] Shahih dengan (didukung oleh) seluruh jalan periwayatannya dan adanya hadits-hadits pendukung (syahid-syahid) baginya. Lihat al-Muntakhab min al-Ilal, karya al-Khallal [dari Ahmad], no. 61-62, dan lihat pula Shahih al-Jami’, no. 3913-3914.
[2] Mempelajari ilmu pengobatan secara mendalam dan ilmu-ilmu sains lainnya termasuk fardhu kifayah yang kaum Muslimin wajib menguasainya de-ngan baik agar mereka bisa memetik buahnya yang baik yang memberikan manfaat dan kebaikan bagi mereka sendiri. Kekuatan kaum Muslimin tidak terwujud dan eksistensi mereka tidak tegak kecuali dengan Islam dari sisi akidah, fikih dan jihad, sementara ilmu termasuk sarana hidup, suatu perkara yang kewajiban tidak bisa diwujudkan kecuali dengannya, maka ia wajib.
[3] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 7158 dan Muslim, no. 1717 dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu.
Bahasan terkait tentang hakikat ilmu, keutamaannya, dan perkara-perkara yang berkaitan dengannya dari buku Mukhtashar Minhajul Qashidin (Meraih Kebahagiaan Hakiki Sesuai Tuntunan Ilahi) diterbitkan oleh Pustaka Darul Haq:
-Keutamaan Ilmu dan Belajar
-Keutamaan Mengajarkan Ilmu
-Pergeseran Makna Sejumlah Terminologi Ilmu
-Penjelasan Tentang Kadar yang Terpuji dari Ilmu-Ilmu yang Terpuji
-Penjelasan Tentang Adanya Pengaburan dalam Menyamakan Perdebatan dengan Musyawarah Para Sahabat dan Dialog as- Salaf