Hukum Bekerja
Bekerja yang menentukan tegaknya hidup manusia, hukumnya fardhu ‘ain. Sementara usaha yang menentukan tegaknya kehidupan bersama, hukumnya adalah fardhu kifayah. Mendirikan perusahaan dan perindustrian dilihat dari kebutuhan umat secara kolektif hukumnya adalah fardhu kifayah. Bertawakal kepada Allah tidak berarti menganggur dan meninggalkan usaha, karena yang demikian itu adalah tawakal yang tercela. Sesungguhnya Rasulullah a tidak pernah memerintahkan umat manusia meninggalkan usaha mencari rizki dan mencari penghidupan. Bahkan beliau mengakui cara mencari rizki yang Allah ridhai. Oleh sebab itu, tidak ada alasan mencela jalur-jalur usaha yang disyariatkan. Yang dicela adalah yang menyebabkan pelakunya lupa kepada Allah dan menghalanginya untuk beramal ibadah kepadaNya, sebagaimana dalam Firman Allah ,
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah…” (An-Nur: 37).
Ilmu dan amal dalam Islam tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, orang yang beramal atau berusaha harus mempelajari hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan bidang usahanya sehingga tidak tergelincir dan terjerumus dalam keharaman. Seorang pebisnis hendaknya mempelajari bagian ilmu fikih yang berkaitan dengan berbagai aktivitas bisnis yang diharamkan. Untuk alasan itulah buku ini disusun. Demikian juga sikap seorang dokter, petani, produsen dan lain sebagainya.
Sebagaimana seorang pekerja wajib mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan bidang usahanya dari hukum-hukum syariat, ia juga harus menekuni dan mengerjakan pekerjaannya itu dengan baik, serta melakukan berbagai cara yang dapat menolongnya menyelesaikan pekerjaannya, dengan melatih dan mengajarkan ilmunya atau dengan cara lain. Terkecuali bila ia menipu kaum Muslimin. Nabi bersabda,
مَنْ غَشَّنَا ÙÂَلَيْسَ Ù…ÙÂنَّا.
“Barangsiapa yang menipu kami maka ia bukan termasuk dari kami.” HR Muslim
Orang yang bekerja sebagai dokter tetapi tidak mengenal ilmu kedokteran, maka ia harus bertanggung jawab.