Dalam pembahasan ini, Penulis membahas hukum gibah, sebab-sebab gibah dan terapinya serta alasan-alasan yang membolehkan gibah.
Al-Qur`an mengharamkannya, pelakunya disamakan dengan orang yang makan bangkai.
Dalam hadits disebutkan,
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ؛ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ.
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian.”[1]
Dari Abu Barzah al-Aslami, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيْمَانُ قَلْبَهُ، لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ، وَلَا تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللّٰهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللّٰهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِيْ بَيْتِهِ.
“Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya namun iman belum masuk ke dalam hatinya, janganlah menggibah kaum Muslimin, jangan mencari-cari aurat (aib) mereka, karena barangsiapa mencari-cari aib mereka, maka Allah akan mencari aibnya, dan barangsiapa yang aibnya dicari oleh Allah, maka Allah akan mempermalukannya (sekalipun) dia di dalam rumahnya.”[2]
Dalam hadits lain,
إِيَّاكُمْ وَالْغِيْبَةَ، فَإِنَّ الْغِيْبَةَ أَشَدُّ مِنَ الزِّنَا، وَإِنَّ الرَّجُلَ قَدْ يَزْنِي وَيَشْرَبُ، ثُمَّ يَتُوْبُ وَيَتُوْبُ اللّٰهُ عَلَيْهِ، وَإِنَّ صَاحِبَ الْغِيْبَةِ لَا يَغْفِرُ اللّٰهُ لَهُ حَتَّى يَغْفِرَ لَهُ صَاحِبُهُ.
“Jauhilah gibah, karena ia lebih berat daripada zina. Seorang laki-laki mungkin berzina dan minum khamar kemudian dia bertaubat dan Allah menerima taubatnya, (tetapi) sesungguhnya pelaku gibah, Allah tidak mengampuninya sebelum korbannya memaafkannya.”[3]
Ali bin al-Husain radhiyallahu ‘anhu berkata,
إِيَّاكَ وَالْغِيْبَةَ فَإِنَّهَا إِدَامُ كِلَابِ النَّاسِ.
“Jauhilah gibah, karena ia adalah lauk anjing-anjing manusia.”
Hadits-hadits dan atsar–atsar dalam hal ini berjumlah banyak.
Makna gibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dia benci bila terdengar olehnya, baik berupa kekurangan pada tubuhnya seperti rabun, cacat satu mata, juling, botak, jangkung, pendek, dan yang sepertinya. Atau pada nasabnya seperti bapaknya orang Nibthi, atau orang India, atau fasik, atau rendah dan yang sepertinya. Atau pada akhlaknya seperti dia berakhlak buruk, kikir, sombong dan yang sepertinya. Atau pada bajunya seperti ekor bajunya panjang, lengan bajunya terlalu lebar, dan bajunya kotor.
Dalil dalam hal ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang gibah, maka beliau menjawab,
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ.
“Engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang tidak dia sukai.” Dia bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana bila apa yang aku katakan itu benar ada pada saudaraku?” Rasulullah menjawab, “Bila apa yang engkau katakan memang ada pada saudaramu, maka engkau sudah menggibahnya, bila tidak ada, maka engkau sudah menuduhnya secara keji (memfitnahnya).”[4]
Ketahuilah bahwa semua pembicaraan yang dipahami darinya bahwa orang yang mengucapkannya bertujuan mencela, maka itu termasuk gibah, baik dengan kata-kata atau selainnya, seperti lirikan mata, isyarat, tulisan pena; karena pena adalah salah satu dari dua lisan.
Bentuk gibah paling buruk adalah gibah orang-orang yang berpura-pura zuhud lagi riya`, misalnya menyinggung seseorang di tengah-tengah majelis mereka, lalu mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menguji kita dengan masuk kepada penguasa dan merendahkan diri untuk mendapatkan bagian dunia.” Atau mereka berkata, “Kami berlindung kepada Allah dari minimnya rasa malu.” Atau, “Kami memohon keselamatan kepada Allah.” Mereka itu menggabungkan antara celaan terhadap orang tersebut dan sanjungan kepada diri mereka.
Bisa jadi salah seorang dari mereka berkata manakala seseorang disebut di depannya, “Kasihan, dia diuji dengan penyakit besar, semoga Allah mengampuninya dan kami.” Dia menampakkan doa namun menyembunyikan maksudnya (yaitu mencela dan memburukkan aibnya).
Ketahuilah bahwa orang yang mendengar gibah adalah ikut serta dalam menanggung dosa gibah. Dia tidak terbebas dari dosa mendengarnya kecuali dengan mengingkari dengan kata-kata. Jika takut maka dengan hatinya. Jika dia mampu berdiri, atau memutus kata-katanya dengan kata-kata yang lain, maka dia harus melakukannya.
Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
مَنْ أُذِلَّ عِنْدَهُ مُؤْمِنٌ وَهُوَ يَقْدِرُ أَنْ يَنْصُرَهُ أَذَلَّهُ اللّٰهُ عَلَى رُءُوْسِ الْخَلَائِقِ.
“Barangsiapa yang (melihat) seorang Mukmin dihina di depannya padahal dia mampu menolongnya (tetapi dia diam), maka Allah akan menghinakannya di depan seluruh makhluk.”[5]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ حَمَى مُؤْمِنًا مِنْ مُنَافِقٍ يَعِيْبُهُ، بَعَثَ اللّٰهُ مَلَكًا يَحْمِي لَحْمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ.
“Barangsiapa melindungi seorang Mukmin dari orang munafik yang mencelanya, maka Allah mengutus malaikat untuk menjaga dagingnya di Hari Kiamat dari api neraka.”[6]
Amr bin Utbah melihat hamba sahayanya bersama seorang laki-laki yang sedang membicarakan orang lain, maka Amr berkata, “Celaka engkau, bersihkanlah pendengaranmu dari mendengar keburukan sebagaimana engkau membersihkan dirimu dengan tidak mengatakannya; pendengar adalah sekutu pengucap. Dia melihat kepada keburukan yang ada dalam bejananya lalu dia menumpah-kannya ke dalam bejanamu. Seandainya kata-kata orang bodoh dikembalikan ke mulutnya, niscaya orang yang mengembalikannya berbahagia sebagaimana orang yang mengucapkannya sengsara.”
Terdapat hadits-hadits tentang hak Muslim atas Muslim, ia sudah hadir dalam Kitab Persahabatan.
PASAL
Sebab-sebab yang Mendorong Gibah dan Terapinya
Sebab-sebab yang mendorong gibah berjumlah banyak.
Pertama, melampiaskan amarah, yakni sebuah sebab yang terjadi dari seseorang terhadap orang lain yang membuatnya marah, sehingga setiap kali amarahnya muncul, maka dia melampiaskannya dengan menggibahnya.
Kedua, menyetujui sikap kawan-kawan dan teman-teman, mencari muka dan membantu mereka. Apabila mereka merusak kehormatan orang lain, lalu orang ini melihat jika dia mengingkari mereka atau mengalihkan pembicaraan mereka, maka mereka akan menjauhinya dan membencinya. Sehingga dia membantu mereka dan menganggap bahwa hal itu termasuk dalam etika pergaulan.
Ketiga, keinginan mengangkat diri dengan merendahkan orang lain, misalnya dia berkata, “Fulan bodoh, pemahamannya lemah.” Atau yang seperti itu, tujuannya di balik itu adalah menampakkan keunggulan dirinya, memperlihatkan bahwa dia lebih pandai darinya.
Demikian juga hasad terhadap seseorang manakala orang tersebut disanjung, dicintai dan dihormati oleh masyarakat, maka dia mencederainya dalam rangka meruntuhkan sanjungan tersebut.
Keempat, main-main dan gurau, yaitu dengan menyebut orang lain dengan sesuatu yang membuat orang-orang tertawa dengan cara menirunya, sampai-sampai ada orang yang menjadikan hal ini sebagai profesi.
Cara Mengobati Diri Agar Terhindar dari Menggibah
Untuk mengobati gibah, hendaknya pelakunya menyadari bahwa perbuatannya tersebut mengundang murka dan amarah Allah bahwa kebaikannya akan disandarkan kepada korbannya. Jika dia tidak mempunyai kebaikan, maka keburukan korban akan dipikulkan kepadanya. Barangsiapa mengingat-ingat semua ini, niscaya dia tidak melepaskan lisannya untuk gibah.
Jika hendak menggibah hendaknya melihat aib dirinya sendiri menyibukkan diri untuk memperbaikinya, hendaknya malu mencela orang lain padahal dirinya tercela. Sebagian dari mereka berkata,
Jika engkau mencela orang lain dengan sesuatu yang ada pada dirimu
Maka bagaimana orang yang matanya cacat satu mencela (mata) orang lain?
Jika engkau mencela orang lain dengan sesuatu yang tidak ada pada mereka
Maka hal itu lebih berat di depan Allah dan di depan manusia.
Jika dia menyangka dirinya bebas dari aib, maka hendaknya menyibukkan diri dengan bersyukur kepada Allah, tidak perlu mengotori diri dengan aib paling buruk yaitu gibah. Sebagaimana dia tidak rela orang lain menggibahnya, maka semestinya dia juga tidak rela menggibah orang lain.
Maka hendaknya setiap orang memperhatikan sebab yang mendorongnya melakukan gibah, berusaha semampunya untuk memutuskannya, karena obat suatu penyakit adalah dengan menghilangkan sebabnya. Kami sudah menyebutkan sebagian dari sebab-sebabnya, mengobati amarah dengan apa yang akan hadir dalam Kitab Amarah. Mengobati sikap mencari muka dengan mengetahui bahwa Allah marah terhadap siapa yang mencari ridha makhluk dengan murkaNya. Sebaliknya dia patut marah kepada rekan-rekannya, mengobati yang lainnya juga seperti ini.
PASAL
Gibah Bisa Terjadi dengan Hati, Yaitu Su`u Zhan (Buruk Sangka) terhadap Kaum Muslimin
Zhan (prasangka) adalah sesuatu yang jiwa manusia cenderung kepadanya dan hati mengarah ke sana. Engkau tidak berhak menduga buruk terhadap seorang Muslim, kecuali jika terjadi sebuah perkara yang jelas yang tidak memerlukan penjelasan lagi. Jika ada orang adil (jujur dan baik) mengabarkan kepadamu lalu hatimu cenderung membenarkannya, maka bisa dimaklumi, karena jika engkau mendustakan, maka engkau sudah berburuk sangka kepada pembawa berita. Tidak patut engkau berbaik sangka kepada seseorang dan berburuk sangka kepada orang lain. Sebaliknya engkau patut meneliti, adakah di antara keduanya hasad atau permusuhan? Sehingga muncul tuduhan disebabkan karena itu. Jika terlintas dugaan buruk terhadap seorang Muslim, maka engkau harus lebih memperhatikannya dan mendoakan kebaikan untuknya, karena hal itu membuat setan marah dan menjauhkannya darimu. Sehingga dia tidak membisikkan kepadamu pikiran buruk karena takut terhadap doa dan penjagaan yang engkau lakukan.
Apabila seorang Muslim melakukan kesalahan, maka nasihatilah ia secara rahasia.
Ketahuilah bahwa di antara akibat su`u zhan (buruk sangka) adalah memata-matai, karena hati tidak puas hanya dengan dugaan, sehingga ia ingin memastikan dan sibuk dengan memata-matai. Hal ini dilarang, karena hal tersebut merusak kehormatan seorang Muslim, seandainya ia tidak terbuka untukmu, maka hatimu lebih selamat bagi seorang Muslim.
Alasan Dibolehkannya Gibah dan Kafarat Gibah
Ketahuilah bahwa yang dibolehkan dalam menyebutkan keburukan orang lain adalah untuk sebuah tujuan yang benar dalam syariat yang tidak mungkin diwujudkan kecuali dengan gibah. Hal itu mengangkat dosa gibah. Tujuan-tujuan tersebut adalah:
Pertama: Kasus kezhaliman. Orang yang dizhalimi boleh menyebutkan orang yang menzhaliminya manakala dia mengadu-kannya kepada pihak yang berwenang mengambil haknya darinya.
Kedua: Saling tolong menolong dalam mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku kezhaliman ke jalan yang benar.
Ketiga: Meminta fatwa. Misalnya seseorang berkata kepada mufti, “Fulan menzhalimiku atau mengambil hakku, lalu bagaimana cara mengambil hakku darinya?” Menyebut nama fulan secara langsung adalah mubah (boleh) dan yang lebih baik adalah dengan kata sindiran, misalnya dia berkata, “Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang dizhalimi oleh bapak atau saudaranya?” Atau yang seperti itu.
Dalil dibolehkannya menunjuk dalam masalah ini adalah hadits Hindun (istri Abu Sufyan) manakala dia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Abu Sufyan adalah laki-laki kikir….”[7] Dan Nabi tidak meng-ingkarinya.
Keempat: Memperingatkan kaum Muslimin. Misalnya engkau melihat seorang yang belajar fikih mendatangi ahli bid’ah atau fasik berulang-ulang, engkau khawatir dia ketularan, maka engkau boleh membuka keadaannya yang sebenarnya.
Demikian juga bila engkau tahu bila hamba sahayamu mencuri atau berbuat fasik, maka engkau boleh menyebutkannya kepada pembeli.
Demikian juga orang yang meminta pendapat karena hendak menikahkan atau menitipkan amanat, dia boleh menyebutkan apa yang diketahuinya dengan maksud menasihati orang yang meminta pendapat, bukan dengan maksud menjelek-jelekkannya, bila dia mengetahui bahwa dia hanya jera dengan kata-kata terbuka.
Kelima: Yang bersangkutan dikenal dengan julukan seperti pincang atau rabun, maka siapa yang menyebutkannya tidaklah berdosa, namun bila ada cara lain, maka itu lebih utama.
Keenam: Yang bersangkutan berbuat fasik secara terbuka, tidak menolak bila perbuatannya dibicarakan.
Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
مَنْ أَلْقَى جِلْبَابَ الْحَيَاءِ فَلَا غِيْبَةَ لَهُ.
“Barangsiapa membuang tabir rasa malu (pada dirinya), maka tidak (terhitung) gibah baginya (bila dibicarakan).”[8]
Imam al-Hasan ditanya, “Orang fasik yang mengumumkan kefasikannya, bila aku menyebut apa yang ada padanya, apakah hal itu gibah?” Dia menjawab, “Tidak, karena dia tidak mempunyai kehormatan.”
Untuk kafarat gibah: Ketahuilah bahwa pelaku gibah telah melakukan dua kejahatan:
Pertama; berkaitan hak Allah, karena dia melakukan apa yang dilarang oleh Allah, maka kaffaratnya adalah menyesal dan bertaubat.
Kedua; berkaitan dengan kehormatan makhluk. Bila gibah sudah sampai kepada korban, maka dia harus datang dan meminta maaf kepadanya dan memperlihatkan penyesalan atas perbuatannya.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيْهِ، مِنْ مَالٍ أَوْ عِرْضٍ، فَلْيَأْتِهِ فَلْيَسْتَحِلَّهَا مِنْهُ قَبْلَ أَنْ يُؤْخَذَ وَلَيْسَ عِنْدَهُ دِرْهَمٌ وَلَا دِيْنَارٌ، فَإِنْ كَانَتْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَأُعْطِيَهَا هٰذَا، وَإِلَّا أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ هٰذَا فَأُلْقِيَ عَلَيْهِ.
“Barangsiapa melakukan kezhaliman terhadap saudaranya, baik ter-kait dengan harta atau kehormatan, maka hendaknya menemuinya lalu meminta dihalalkan (dimaafkan) sebelum dihisab yang dia tidak lagi memiliki dirham dan dinar, jika dia mempunyai kebaikan-kebaikan, maka sebagian darinya diambil dan diberikan kepada orang yang dizhaliminya, jika tidak maka keburukan orang yang dizhaliminya akan ditimpakan kepadanya.”[9]
Bila gibah belum sampai kepada korban, maka sebagai ganti meminta maaf adalah memohonkan ampunan baginya, agar tidak mengabarkan sesuatu yang tidak diketahuinya yang bisa membuat dadanya menjadi sempit.
Dalam hadits,
كَفَّارَةُ مَنِ اغْتَبْتَ أَنْ تَسْتَغْفِرَ لَهُ.
“Kafarat bila kamu menggibah seseorang adalah hendaknya kamu memohon ampunan baginya.”[10]
Mujahid berkata, “Bila kamu memakan daging saudaramu, maka kaffaratnya adalah memujinya dan mendoakan kebaikan untuknya, demikian juga bila korban gibah sudah meninggal dunia.”
[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 1739: dari Ibnu Abbas dan no. 7078: dari Abu Bakrah y.
[2] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 19721, 19746; Abu Dawud, no. 4880 dan ter-cantum dalam Shahih Sunannya, no. 4083, dan hadits ini juga tercantum dalam Shahih al-Jami’ , no. 7984 dan Misykah al-Mashabih, no. 5044.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dalam Kitab ash-Shamt, Ibnu Hibban dalam adh-Dhu’afa`, Ibnu Mardawaih dalam at-Tafsir: dari Jabir dan Abu Sa’id. Hadits ini tercantum dalam Dha’if al-Jami’ , no. 2204 dan Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah, no. 1846.
[4] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2589; Abu Dawud, no. 4874 dan tercantum dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 4079; at-Tirmidzi, no. 1934 dan tercan-tum dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 1578: dari Abu Hurairah y.
[5] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 15965 dari Sahl bin Hunaif, dan hadits ini ter-cantum dalam Dha’if al-Jami’, no. 5380 dan Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah, no. 2402.
[6] Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 15627: dari Mu’adz bin Anas, ia dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 4086, 4883 dan Misykah al-Mashabih, no. 4986.
[7] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 5384, 7180 dan Muslim, no. 1714: dari Aisyah i, hadits ini tercantum dalam Shahih al-Jami’, no. 3221 dan Irwa` al-Ghalil, no. 2158.
[8] Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Anas y, hadits ini dalam Dha’if al-Jami ash-Shaghir, no. 5483 dan Silsilah al-Ahasits adh-Dha’ifah, no. 585.
[9] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6534 dan Ahmad, no. 9595: dari Abu Hu-rairah y.
[10] Hadits maudhu’: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya, dan ia tercantum dalam Dha’if al-Jami’, no. 4190 dan Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah, no. 1519.