- Manakala ar-Rasyid menunaikan ibadah haji, salah seorang pengawalnya berkata kepadanya, “Hai Amirul Mukminin, Syaiban juga menunaikan ibadah haji.” Maka dia berkata, “Minta dia datang kepadaku.” Maka mereka membawa Syaiban. Ar-Rasyid berkata, “Wahai Syaiban, berilah aku nasihat.” Syaiban berkata, “Amirul Mukminin, aku orang yang tidak fasih berbicara, aku tidak bisa bahasa Arab dengan baik. Datangkan kepadaku orang yang memahami kata-kataku sehingga aku bisa berbincang dengannya.” Lalu seorang laki-laki didatangkan kepadanya. Syaiban berkata dengan bahasa Nabathi, “Katakan kepada Amirul Mukminin, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya apa yang menakut-nakutimu sebelum engkau tiba di tempat yang aman lebih tulus nasihatnya bagimu daripada orang yang memberimu keamanan sebelum engkau tiba di tempat yang engkau takuti’.” Dia bertanya, “Maksudnya apa?” Dia menjawab, “Katakan, ‘Wahai Amirul Mukminin, orang yang berkata kepadamu, ‘Bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya engkau bertanggung jawab atas umat ini. Allah menyerahkan mereka kepadamu dan mengamanatkan urusan mereka kepadamu, engkau bertanggung jawab, maka berlaku adillah pada rakyat, berbagilah dengan adil dan berangkatlah bersama pasukan, bertakwalah kepada Allah pada dirimu.’ Inilah yang menakut-nakutimu, bila engkau tiba di tempat aman, maka engkau benar-benar aman. Ini lebih tulus nasihatnya daripada orang yang berkata, ‘Kalian adalah keluarga yang diampuni, kalian adalah kerabat Nabi dan dalam naungan syafa’atnya.’ Orang itu terus menjaminmu aman sampai engkau tiba di tempat yang engkau takuti dan engkau pun celaka’.” Maka ar-Rasyid menangis sampai orang-orang di sekitarnya merasa kasihan kepadanya. Kemudian dia berkata, “Teruskan.” Syaiban menjawab, “Itu sudah cukup.”
- Dari Alqamah bin Martsad dia berkata, “Manakala Umar bin Hubairah tiba di Irak, dia mengundang al-Hasan dan asy-Sya’bi, keduanya ditempatkan di sebuah rumah, keduanya tinggal di sana selama kurang lebih sebulan, kemudian Ibnu Hubairah datang kepada keduanya dan duduk dengan hormat di depan keduanya, dia berkata, ‘Sesungguhnya Amirul Mukminin Yazid bin Abdul Malik menulis sebuah surat kepadaku, aku tahu bahwa melaksanakan isinya sama dengan kebinasaan. Jika aku menaatinya, maka aku mendurhakai Allah. Jika aku tidak mematuhinya, maka aku menaati Allah. Menurut kalian apakah aku mempunyai alasan yang dibenarkan seandainya aku mengikutinya?’ Al-Hasan menjawab, ‘Wahai Abu Amr, jawablah panggilan al-Amir.’ Maka asy-Sya’bi berbicara, dia berkata lunak cenderung kepada pendapat Ibnu Hubairah, seolah-olah dia memakluminya. Maka Ibnu Hubairah bertanya kepada al-Hasan, ‘Bagaimana pendapatmu wahai Abu Sa’id?’ Maka al-Hasan menjawab, ‘Wahai Umar bin Hubairah, sudah dekat saatnya kedatangan seorang malaikat dari malaikat-malaikat Allah, keras dan kasar, tidak mendurhakai perintah Allah, dia mengeluarkanmu dari luasnya istanamu ke sempitnya kubur Wahai Umar bin Hubairah, bila engkau bertakwa kepada Allah, maka Dia akan melindungimu dari Yazid bin Abdul Malik dan sebaliknya Yazid bin Abdul Malik tidak mampu menjagamu dari Allah. Wahai Umar bin Hubairah, jangan merasa aman bila Allah melihatmu sedang melakukan perbuatan yang sangat buruk dalam rangka mematuhi Yazid bin Abdul Malik, akibatnya Dia bisa menutup ampunanNya di depanmu. Wahai Umar bin Hubairah, sungguh aku telah bertemu dengan orang-orang dari generasi pertama umat ini, mereka berpaling dari dunia padahal ia datang kepada mereka lebih keras daripada keinginan kalian kepadanya padahal ia menjauh dari kalian. Wahai Umar bin Hubairah, sesungguhnya aku memperingatkanmu terhadap sebuah pertemuan yang Allah telah memperingatkanmu tentangnya, Dia berfirman,
لمن خاف مقامي وخاف وعيد
‘Orang-orang yang takut (akan menghadap) ke hadiratKu dan yang takut kepada ancamanKu.‘ (Ibrahim: 14).
Wahai Umar bin Hubairah, bila engkau bersama Allah dengan menaatiNya, niscaya Dia mencukupkanmu dari Yazid bin Abdul Malik, sebaliknya bila engkau bersama Yazid bin Abdul Malik dalam mendurhakai Allah, maka Allah akan menjadikanmu bersandar kepadanya.’ Maka Umar bin Hubairah menangis lalu berdiri sambil terus menangis.
Esok harinya tiba, keduanya diizinkan pulang dan diberi hadiah. Hadiah al-Hasan lebih banyak daripada hadiah asy-Sya’bi. Kemudian asy-Sya’bi keluar ke masjid dan berkata, ‘Wahai manusia, barangsiapa di antara kalian bisa mementingkan Allah di atas makhlukNya, maka lakukanlah. Demi Allah yang jiwaku berada di TanganNya, aku bukan tidak tahu apa yang diketahui oleh al-Hasan, tetapi aku mencari muka Ibnu Hubairah, maka Allah menjauhkanku dariNya’.”
- Muhammad bin Wasi’ datang kepada Bilal bin Abu Burdah di suatu hari yang panas, saat itu Bilal ada di sebuah rumah, di sisinya terdapat air dingin. Maka dia berkata, “Wahai Abu Abdullah, bagaimana menurutmu rumah kami ini?” Muhammad menjawab, “Rumah yang bagus, namun surga lebih bagus dan mengingat neraka membuat lupa darinya.” Bilal bertanya, “Apa pendapatmu tentang takdir?” Muhammad menjawab, “Tetangga-tetanggamu adalah penghuni kubur, pikirkanlah mereka, memikirkan mereka membuatmu tidak sempat memikirkan takdir.” Bilal berkata, “Berdoalah untukku.” Muhammad menjawab, “Apa yang engkau lakukan dengan doaku? Sementara di pintumu ada ini dan ini, mereka berkata bahwa engkau menzhalimi mereka, doa mereka diangkat sebelum doaku. Jangan berbuat zhalim, dan engkau tidak membutuhkan doaku.”
Ini adalah beberapa nasihat ulama kepada para penguasa. Barangsiapa ingin tambahan maka silakan membuka kitab al-Mish-bah al-Mudhi`.
Demikianlah jalan dan kebiasaan yang ditempuh oleh para ulama dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar, mereka tidak mempedulikan kemarahan para penguasa karena mereka mendahulukan hak Allah di atas sikap ketakutan kepada mereka. Hanya saja pada masa itu para penguasa masih mengakui hak ilmu dan keutamaannya, maka mereka bisa menerima pahitnya nasihat para ulama kepada mereka. Sekarang, dalam hemat saya lebih baik menjauh dari penguasa, bila bertemu pun, maka cukup dengan kata-kata dan nasihat yang lunak.
Dan hal itu mempunyai dua sebab:
Pertama: Berkaitan dengan orang yang memberi nasihat sen-diri, yaitu maksudnya yang tidak baik dan kecenderungannya kepada dunia dan riya`, sehingga nasihatnya tidak ikhlas.
Kedua: Berkaitan dengan penerima nasihat, cinta dunia sudah menyibukkan banyak orang sehingga mereka melupakan akhirat, mereka mengagungkan dunia sehingga hal itu melupakan mereka untuk menghormati ulama, seorang Mukmin tidak patut menghinakan dirinya.
Ini adalah akhir kitab amar ma’ruf dan nahi mungkar ….