- Dari al-Auza’i, beliau berkata, “Saat aku sedang berada di pesisir pantai, al-Manshur mengutus orang memintaku menghadap, maka aku datang. Manakala aku tiba, aku mengucapkan salam, dia memintaku duduk, kemudian dia berkata, ‘Apa yang membuatmu lamban wahai al-Auza’i?’ Aku menjawab, ‘Apa yang engkau inginkan dariku wahai Amirul Mukminin?’ Dia menjawab, ‘Aku ingin mengambil kebaikan dari kalian, menimba faedah dari kalian’.” Aku berkata, “Perhatikanlah wahai Amirul Mukminin, jangan sampai engkau mendengar sesuatu yang baik kemudian engkau tidak mengamalkannya.” Maka ar-Rabi’ menghardiknya dan tangannya meraba pedangnya, maka al-Manshur menghardiknya dan berkata, “Ini majelis diskusi bukan majelis hukuman.” Maka aku menjadi tenang dan bisa berbicara dengan santai. Aku berkata, “Wahai Amirul Mukminin, al-Mak-hul menyampaikan kepadaku dari Athiyah bin Busr bahwa dia berkata, Rasulullah bersabda,
أَيُّمَا وَالٍ مَاتَ غَاشًّا لِرَعِيَّتِهِ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.
‘Pemimpin mana pun yang mati dalam keadaan berlaku curang terhadap rakyatnya, maka Allah mengharamkan surga atasnya.’[1]
Wahai Amirul Mukminin, engkau sedemikian sibuk dengan orang-orang khususmu sehingga melalaikan orang-orang umum yang telah menjadi rakyatmu, yang berkulit merah atau hitam, yang Muslim atau yang kafir, setiap orang berhak bagian keadilan atasmu. Lalu bagaimana dengan dirimu bila sekelompok orang dari mereka bangkit di belakang sekelompok yang lain, tidak seorang pun dari mereka kecuali dia mengadukan ujian yang telah engkau timpakan kepadanya dan kezhaliman yang engkau giring kepadanya? Wahai Amirul Mukminin, Mak-hul menyampaikan kepadaku dari Ziyad bin Jariyah dari Habib bin Maslamah,
أَنَّ رَسُوْلَ اللّٰهِ دَعَا إِلَى الْقِصَاصِ مِنْ نَفْسِهِ فِيْ خَدْشٍ خَدَشَهُ أَعْرَابِيًّا لَمْ يَتَعَمَّدْهُ، فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّ اللّٰهَ لَمْ يَبْعَثْكَ جَبَّارًا وَلَا مُتَكَبِّرًا، فَدَعَا الْأَعْرَابِيَّ، فَقَالَ: اِقْتَصَّ مِنِّيْ، فَقَالَ الْأَعْرَابِيُّ: قَدْ أَحْلَلْتُكَ، بِأَبِيْ أَنْتَ وَأُمِّيْ، وَمَا كُنْتُ لِأَفْعَلَ ذٰلِكَ أَبَدًا، وَلَوْ أَتَيْتَ عَلَى نَفْسِيْ؛ فَدَعَا لَهُ بِخَيْرٍ.
‘Bahwasanya Rasulullah mempersilakan seorang laki-laki pedalaman untuk membalas terhadap diri beliau karena luka lecet yang beliau timpakan kepadanya tanpa sengaja, yang Jibril datang kepada beliau dan berkata, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah ta’ala tidak mengutusmu sebagai orang yang sombong dan angkuh.’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil laki-laki pedalaman itu dan beliau bersabda kepadanya, ‘Silakan ambil hakmu dariku.’[2] Lalu laki-laki pedalaman itu berkata, ‘Aku sudah menghalalkan bagimu, aku siap korbankan bapak dan ibuku demi engkau, aku tidak akan pernah melakukan hal ini selamanya, sekalipun engkau telah melakukannya terhadap diriku.’ Maka beliau mendoakannya dengan kebaikan.’
Maka wahai Amirul Mukminin, tundukkanlah dirimu untuk dirimu sendiri, ambillah jaminan keamanan baginya dari Tuhanmu. Wahai Amirul Mukminin, bila kerajaan itu abadi untuk orang-orang sebelummu, niscaya ia tidak berpindah ke tanganmu, demikian juga ia tidak abadi bagimu sebagaimana ia juga tidak abadi bagi orang lain. Wahai Amirul Mukminin, leluhurmu[3] menafsirkan ayat ini,
ما ل هذا الكتاب لا يغادر صغيرة ولا كبيرة إلا أحصاها
‘Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya.’ (Al-Kahfi: 49),
beliau berkata, ‘Yang kecil adalah senyuman dan yang besar adalah tertawa, lalu bagaimana dengan apa yang dikerjakan oleh tangan dan diucapkan oleh lidah?’
Wahai Amirul Mukminin, telah sampai kepadaku bahwa Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Seandainya seekor domba mati di pinggir sungai Tigris karena tersia-siakan, niscaya aku takut akan diminta pertanggungjawaban tentangnya,’ lalu bagaimana dengan orang yang tidak mendapatkan keadilanmu padahal dia ada di sekitarmu? Wahai Amirul Mukminin, leluhurmu menafsirkan ayat ini,
يا داود إنا جعلناك خليفة في الأرض فاحكم بين الناس بالحق ولا تتبع الهوى
‘Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu.‘ (Shad: 26),
beliau berkata, ‘(Maknanya), apabila dua orang yang berseteru duduk di depanmu dan kamu cenderung kepada salah satu dari keduanya, maka jangan berharap dalam jiwamu untuk memberikan hak kepadanya, sehingga menang terhadap seterunya tersebut, akibatnya Aku mencabutmu dari kenabianKu, kemudian engkau tidak menjadi khalifahKu. Hai Dawud, Aku menjadikan utusan-utusanKu kepada hamba-hambaKu seperti penggembala unta, karena mereka mengetahui bagaimana menggembala dan memimpin dengan lemah lembut, sehingga bisa merawat yang sakit dan membawa yang kurus ke padang rumput dan mata air.’
Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya engkau telah diuji dengan suatu urusan yang seandainya ia ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, niscaya mereka akan menolak dan khawatir memikulnya. Wahai Amirul Mukminin, Yazid bin Jabir menyampaikan kepadaku dari Abdurrahman bin Abu Amrah al-Anshari bahwa Umar bin al-Khaththab mengangkat seorang laki-laki dari kalangan Anshar sebagai amil zakat. Beberapa hari Umar melihatnya belum juga berangkat. Umar bertanya kepadanya, ‘Apa yang membuatmu belum juga berangkat menunaikan tugasmu? Apakah engkau tidak tahu bahwa engkau mendapatkan pahala para mujahid di jalan Allah?’ Dia menjawab, ‘Tidak.’ Umar bertanya, ‘Bagaimana demikian?’ Dia menjawab, ‘Karena telah sampai kepadaku sabda Rasulullah,
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي شَيْئًا مِنْ أُمُوْرِ النَّاسِ، إِلَّا أَتَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَغْلُوْلَةً يَدَاهُ إِلَى عُنُقِهِ، يُوْقَفُ عَلَى جِسْرِ جَهَنَّمَ، يَنْتَفِضُ بِهِ ذٰلِكَ الْجِسْرُ اِنْتِفَاضَةً تُزِيْلُ كُلَّ عُضْوٍ مِنْهُ عَنْ مَوْضِعِهِ، ثُمَّ يُعَادُ فَيُحَاسَبُ، فَإِنْ كَانَ مُحْسِنًا نَجَا بِإِحْسَانِهِ، وَإِنْ كَانَ مُسِيْئًا اِنْخَرَقَ بِهِ ذٰلِكَ الْجِسْرُ فَهَوَى بِهِ فِي النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا.
‘Tidaklah seorang pemimpin memegang sebagian dari urusan manusia kecuali di Hari Kiamat dia datang dengan tangan terbelenggu ke lehernya, dia akan diberhentikan di jembatan Jahanam, jembatan tersebut berguncang yang membuat setiap anggota tubuhnya jatuh dari tempatnya, kemudian ia dikembalikan lalu dihisab, bila dia baik maka dia selamat dengan kebaikannya, sebaliknya bila dia buruk maka jembatan tersebut jebol dan dia terjatuh ke dalam neraka selama 70 tahun.’[4]
Umar bertanya, ‘Dari siapa engkau mendengar hadits itu?’ Dia menjawab, ‘Dari Abu Dzar dan Salman.’ Lalu Umar memanggil keduanya dan bertanya kepada keduanya, keduanya menjawab, ‘Benar, kami mendengar dari Rasulullah.’ Umar berkata, ‘Duhai Umar, lalu siapa yang memegang kepemimpinan dengan apa yang ada padanya?’ Maka Abu Dzar berkata, ‘Orang yang Allah potong hidungnya dan tempelkan pipinya di tanah.’
Maka al-Manshur mengambil kain dan menutupkannya pada wajah dan dia menangis sesenggukan sampai aku pun ikut menangis. Kemudian aku berkata, “Wahai Amirul Mukminin, leluhurmu al-Abbas pernah meminta kekuasaan Makkah atau Tha`if atau Yaman, maka Nabi bersabda kepadanya,
يَا عَمِّ، نَفْسٌ تُنْجِيْهَا خَيْرٌ مِنْ إِمَارَةٍ لَا تُحْصِيْهَا.
‘Wahai pamanku, satu jiwa engkau selamatkan lebih baik daripada kekuasaan yang engkau tidak mampu mengembannya).’[5]
Ini adalah nasihat Nabi kepada paman beliau dan bentuk kasih sayang beliau kepadanya. Nabi juga mengabarkan kepadanya bahwa beliau tidak bisa membantunya sedikit pun, yang Allah telah mewahyukan kepadanya,
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ
‘Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.’ (Asy-Syu’ara`: 214).
Lalu beliau bersabda,
يَا عَبَّاسُ، وَيَا صَفِيَّةُ، وَيَا فَاطِمَةُ، إِنِّيْ لَسْتُ أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللّٰهِ شَيْئًا، لِيْ عَمَلِيْ وَلَكُمْ عَمَلُكُمْ
‘Wahai Abbas, wahai Shafiyah, wahai Fathimah, sesungguhnya aku tidak bisa membantu kalian apa pun di sisi Allah, bagiku amalku dan bagi kalian amal kalian.’[6]
Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Tidak bisa menegakkan kehidupan manusia kecuali orang yang berakal lurus, tidak takut di jalan Allah terhadap celaan orang lain…” dia (al-Auza’i) menyebutkan perkataan selengkapnya kepada al-Manshur.
Kemudian dia (al-Auza’i) melanjutkan, “Itu adalah sebuah nasihat dan as-salamu alaikum.” Kemudian dia bangkit. Al-Manshur bertanya, “Hendak ke mana?” Dia menjawab, “Ke tempat tinggalku wahai Amirul Mukminin bila engkau memperkenankan.” Al-Manshur berkata, “Aku mengizinkanmu, aku berterima kasih atas nasihatmu, aku menerimanya dengan tulus, Allah Dzat yang memberi taufik menuju kebaikan, menolong menujunya, kepadaNya aku memohon pertolongan, kepadaNya aku bertawakal, Dia adalah Pencukupku dan sebaik-baik tempat bergantung, jangan membiarkanku tanpa nasihat seperti ini darimu, karena engkau adalah orang yang kata-katanya dapat diterima dan nasihatnya tidak ada keraguan.”
Dia berkata, “Aku lakukan insya Allah.” Lalu al-Manshur memberinya harta sebagai bekal kepergiannya namun dia tidak menerimanya, dia berkata, “Aku tidak membutuhkannya, saya tidak patut menjual nasihatku dengan harta dunia.” Maka al-Manshur mengetahui kepergiannya dan tidak kuasa menahannya.
[1] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dalam Mawa`izh al-Khulafa`, Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya`, 6/136, dan dalam sanadnya terdapat Ahmad bin Ubaid bin Nasih. Ibnu Adi berkata tentangnya, “Dia menyampaikan hadits-hadits munkar, tetapi bagiku dia adalah orang jujur.”
Makna hadits ini diriwayatkan dari hadits Ma’qil bin Yasar oleh al-Bukhari, no. 7150, 7151; Muslim, no. 142. Dan hadits ini ada dalam Shahih al-Jami’, no. 2713 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 1757.
[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dalam Mawa’izh al-Khulafa`, dan dalam sanad sama dengan sebelumnya. Akan tetapi dalam Dha’if Sunan Abu Dawud, no. 980/4537; Dha’if Sunan an-Nasa`i, no. 330 dan Ahmad, 1/41, 286 dari Umar radhiyalllahu ‘anhu “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersilakan orang-orang mengambil hak mereka dari beliau.”
[3] Maksudnya adalah Ibnu Abbas.
[4] Dalam sanadnya terdapat apa yang sama dengan sebelumnya. Akan tetapi makna hadits itu tercantum (dalam riwayat lain) dalam Majma’ az-Zawa`id, 5/205. Lihat pula Shahih al-Jami’ , no. 5695, 5697, 5718.
[5] Dalam sanadnya juga terdapat hal sama dengan sebelumnya, dia meriwayat-kannya begitu saja secara mu’dhal tanpa sanad, diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari riwayat mursal Ibnul Munkadir.
[6] Dia meriwayatkan secara mu’dhal tanpa sanad seperti ini, dan diriwayatkan pula oleh al-Bukhari, no. 2753; Muslim, no. 206; at-Tirmidzi, no. 3185 dan tercantum dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 2546; an-Nasa`i sebagaimana dalam Shahih an-Nasa`i, no. 3407 dan 3408 dari hadits Abu Hurairah secara bersambung tanpa, “Bagiku amalku dan bagi kalian amal kalian.” Hadits ini juga bisa dilihat dalam Shahih al-Jami’ , no. 7982, 7983.