Dari Buku Mengatasi Rintangan dalam BERTAUBAT Karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid
Ketahuilah, semoga Allah merahmati saya dan Anda, bahwa Allah [Islamic phrases=”Subhanahu wa Ta’ala”]E[/Islamic] memerintahkan para hambaNya agar ikhlas dalam bertaubat sebagai suatu kewajiban. Allah [Islamic phrases=”Subhanahu wa Ta’ala”]E[/Islamic] berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ تُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya.” (At-Tahrim: 8).
Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat sebelum para malaikat yang mulia pencatat amal melakukan pencatatan. Beliau [Islamic phrases=”Shallallahu ‘alaihi wa Sallam”]H[/Islamic] bersabda,
إِنَّ صَاحِبَ الشِّمَالِ لَيَرْفَعُ الْقَلَمَ سِتَّ سَاعَاتٍ عَنِ الْعَبْدِ الْمُسْلِمِ الْمُخْطِئِ، فَإِنْ نَدِمَ وَاسْتَغْفَرَ اللهَ مِنْهَا، أَلْقَاهَا، وَإِلَّا كُتِبَتْ وَاحِدَةً.
“Sesungguhnya malaikat pencatat amal keburukan mengangkat pena selama enam sa’at[1] dari seorang hamba Muslim yang melakukan kesalahan. Jika ia menyesal dan memohon ampunan kepada Allah darinya, malaikat itu meletakkan penanya, namun jika tidak, maka dicatat satu keburukan.”[2]
Kesempatan lainnya diberikan setelah pencatatan dan sebelum datangnya ajal.
Musibah kebanyakan manusia saat ini karena mereka tidak takut akan kebesaran Allah. Mereka berbuat maksiat terhadapNya dengan beragam dosa di siang dan malam hari. Di antara mereka ada sekelompok orang yang diuji dengan sikap meremehkan dosa. Anda melihat salah seorang dari mereka meremehkan sebagian dosa kecil pada dirinya dengan mengatakan, misalnya, “Tidak ada masalah dengan satu kali pandangan mata!” atau “Tidak ada masalah berjabat tangan dengan wanita bukan mahram!”
Mereka mencari hiburan dengan melihat hal-hal yang diharamkan di majalah-majalah dan sinetron-sinetron. Bahkan sebagian mereka bertanya dengan sinis apabila mengetahui haramnya suatu masalah, “Berapa keburukan yang ada di dalamnya? Dosa besar atau kecilkah?”
Ketika Anda mengetahui realitas yang terjadi ini, maka bandingkanlah hal itu dengan dua atsar berikut ini yang terdapat di dalam Shahih al-Bukhari,
Hadits dari Anas [Islamic phrases=”Radhiyallahu ‘anhu”]I[/Islamic], dia berkata,
إِنَّكُمْْ لَتَعْمَلُوْنَ أَعْمَالًا هِيَ أَدَقُّ فِيْ أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعْرِ، كُنَّا نَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ
مِنَ الْمُوْبِقَاتِ [Islamic phrases=”Shallallahu ‘alaihi wa Sallam”]z[/Islamic]
“Sesungguhnya kalian benar-benar melakukan perbuatan-perbuatan yang ukurannya lebih halus dari sehelai rambut dalam pandangan mata kalian, padahal pada masa Rasulullah [Islamic phrases=”Shallallahu ‘alaihi wa Sallam”]H[/Islamic] kami menganggapnya sebagai dosa-dosa yang mencelakakan.”
Hadits dari Ibnu Mas’ud [Islamic phrases=”Radhiyallahu ‘anhu”]I[/Islamic], dia berkata,
إنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوْبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ علَى أَنْفِهِ. فَقَالَ بِهِ هٰكَذَا -بِيَدِهِ- فَذَبَّهُ عَنْهُ.
“Sesungguhnya seorang Mukmin melihat dosa-dosanya seolah-olah ia duduk di bawah sebuah gunung yang ia khawatirkan akan menimpanya, sedangkan seorang yang durhaka melihat dosa-dosanya seolah-olah lalat yang melintas di hidungnya,” lalu beliau mengisyaratkan demikian -dengan tangannya-, yakni menghalaunya.
Apakah sekarang mereka dapat menakar bahaya masalah tersebut ketika membaca hadits Rasulullah [Islamic phrases=”Shallallahu ‘alaihi wa Sallam”]H[/Islamic] ini,
إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوْبِ، فَإِنَّمَا مَثَلُ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوْبِ كَمَثَلِ قَوْمٍ نَزَلُوْا بَطْنَ وَادٍ، فَجَاءَ ذَا بِعُوْدٍ، وَجَاءَ ذَا بِعُوْدٍ، حَتَّى حَمَلُوْا مَا أَنْضَجُوْا بِهِ خُبْزَهُمْ، وَإِنَّ مُحَقَّرَاتِ الذُّنُوْبِ مَتَى يُؤْخَذْ بِهَا صَاحِبُهَا تُهْلِكْهُ.
“Jauhilah dosa-dosa yang dianggap remeh, sebab perumpamaan dosa-dosa yang dianggap remeh itu seperti perumpamaan sekelompok orang yang singgah di perut lembah; lalu ada yang membawa satu ranting kayu, lalu yang lain lagi membawa satu ranting kayu, hingga akhirnya mereka mengumpulkan kayu yang cukup untuk membuat roti mereka matang. Sesungguhnya dosa-dosa yang dianggap remeh, kapan pun pelakunya dihukum dengannya, niscaya ia dapat mencelakakannya.”
Di dalam sebuah riwayat disebutkan,
إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوْبِ، فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ.
“Jauhilah dosa-dosa yang dianggap remeh, sebab ketika ia berkumpul pada seseorang, maka akan mencelakakannya.” Diriwayatkan oleh Ahmad.[3]
Para ulama menyebutkan bahwa dosa kecil terkadang dibarengi dengan minimnya rasa malu, cuek, dan tidak takut kepada Allah disertai sikap mengentengkannya, sehingga ia dapat disetarakan dengan dosa besar, bahkan membuatnya setingkat dengannya.
Karena itu, tidak dikatakan dosa kecil jika dilakukan secara terus menerus, dan tidak dikatakan dosa besar jika diiringi dengan istighfar.
Kita katakan kepada orang yang kondisinya demikian, “Jangan melihat kecilnya maksiat, tetapi lihatlah kepada siapa engkau berbuat maksiat.”
Ungkapan-ungkapan ini, insya Allah akan bermanfaat bagi orang-orang yang benar, yang merasa telah berbuat dosa dan bersikap lalai, bukan orang-orang yang terus menerus di dalam kesesatan mereka, ataupun yang bersikukuh di atas kebatilan mereka.
Ia hanya untuk orang yang mengimani Firman Allah [Islamic phrases=”Subhanahu wa Ta’ala”]E[/Islamic],
وَأَنَّ عَذَابِى هُوَ ٱلْعَذَابُ ٱلْأَلِيمُ
“Kabarkanlah kepada hamba-hambaKu, bahwasanya Aku-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hijr: 49),
sebagaimana ia juga mengimani FirmanNya,
وَنَبِّئْهُمْ عَن ضَيْفِ إِبْرَٰهِيمَ
“Dan bahwasanya azabKu adalah azab yang sangat pedih.” (Al-Hijr: 50)
[1] Ada kemungkinan yang dimaksud dengan “sa’at” (سَاعَةٌ) di sini adalah masa menurut ilmu falak yang sudah dikenal (jam), atau ia ukuran waktu yang singkat dari malam atau siang hari. Lihat Lisan al-‘Arab, سوع, dan Faidh al-Qadir, karya al-Munawi.
[2] Diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam al-Mu’jam al-Kabir; dan al-Baihaqi di dalam Syu’ab al-Iman, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani di dalam kitabnya, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 1209.
[3] Lihat Shahih al-Jami’, no. 2686-2687.