Darul Haq

Hakikat Niat, Keutamaan dan Hal-Hal yang Berkaitan dengannya

Allah  berfirman,

“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki WajahNya.” (Al-An’am: 52).

Dan yang dimaksud dengan menghendaki di sini adalah niat.

Dari Umar bin al-Khaththab , beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

‘Sesungguhnya amal-amal itu hanya tergantung niat dan sesungguhnya setiap orang hanya mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya. Barangsiapa hijrahnya kepada dunia yang ingin dia dapatkan atau seorang wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya kepada apa dia berhijrah’.”[1]

Dari Abu Musa beliau berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, dia berkata,

يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يُقَاتِلُ شَجَاعَةً، وَيُقَاتِلُ حَمِيَّةً، وَيُقَاتِلُ رِيَاءً، أَيُّ ذٰلِكَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.

‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang berperang karena keberanian, berperang karena fanatisme, dan berperang karena riya`; siapa dari mereka yang berperang di jalan Allah?’ Nabi menjawab, ‘Barangsiapa berperang agar kalimat Allah menjadi yang tertinggi, maka dialah yang berperang di jalan Allah’.”[2] Diriwayatkan dalam ash-Shahihain.

Dari Jabir  berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

لَقَدْ خَلَّفْتُمْ بِالْمَدِيْنَةِ رِجَالًا، مَا قَطَعْتُمْ وَادِيًا، وَلَا سَلَكْتُمْ طَرِيْقًا، إِلَّا شَارَكُوْكُمْ فِي الْأَجْرِ؛ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ.

“Sungguh kalian meninggalkan orang-orang di Madinah, yang kalian tidak menyeberangi sebuah lembah dan tidak meniti sebuah jalan kecuali mereka ikut serta bersama kalian meraih pahala; karena sakit yang menahan mereka.”[3] Diriwayatkan oleh Muslim dan al-Bukhari meriwayatkannya dari hadits Anas.

Dalam ash-Shahihain dari hadits Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,

مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةٌ.

“Barangsiapa ingin melakukan suatu kebaikan lalu dia tidak melakukannya, maka ditulis untuknya satu kebaikan.”[4]

Kemudian dari Abu Kabsyah al-Anmari  beliau berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ هٰذِهِ الْأُمَّةِ مَثَلُ أَرْبَعَةِ نَفَرٍ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا وَعِلْمًا، فَهُوَ يَعْمَلُ بِهِ فِيْ مَالِهِ فَيُنْفِقُهُ فِيْ حَقِّهِ. وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ عِلْمًا وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالًا، فَهُوَ يَقُوْلُ: لَوْ كَانَ لِيْ مِثْلُ مَا لِهٰذَا عَمِلْتُ فِيْهِ مِثْلَ الَّذِيْ يَعْمَلُ. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ.

وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالًا وَلَمْ يُؤْتِهِ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِيْهِ يُنْفِقُهُ فِيْ غَيْرِ حَقِّهِ. وَرَجُلٌ لَمْ يُؤْتِهِ اللهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُوْلُ: لَوْ كَانَ لِيْ مَالٌ مِثْلُ هٰذَا عَمِلْتُ فِيْهِ مِثْلَ الَّذِيْ يَعْمَلُ. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : فَهُمَا فِي الْوِزْرِ سَوَاءٌ.

“Perumpamaan umat ini adalah seperti empat orang: (pertama), seorang laki-laki yang Allah beri harta dan ilmu, dia mengamalkan ilmu dalam (membelanjakan) hartanya sehingga menginfakkannya di jalannya yang haq, (kedua), seorang laki-laki yang Allah beri ilmu tapi tidak diberi harta, lalu dia berkata, ‘Seandainya aku mempunyai harta seperti dia niscaya aku melakukan seperti apa yang dia lakukan.’ Rasulullah bersabda, “Pahala keduanya sama.” (Ketiga), seorang laki-laki yang Allah beri harta dan tidak memberinya ilmu, dia membelanjakannya secara salah, menginfakkannya bukan di jalannya yang haq. (Keempat), seorang laki-laki yang tidak Allah beri ilmu dan harta, lalu dia berkata, ‘Seandainya aku mempunyai apa yang dia punyai, niscaya aku melakukan seperti apa yang dia lakukan.’ Rasulullah bersabda, “Dosa keduanya sama.”[5]

Abu Imran al-Jauni berkata, “Para malaikat naik membawa amal-amal, lalu Allah memanggil, ‘Buang buku catatan itu.’ Maka para malaikat berkata, ‘Wahai Rabb kami, dia berkata baik dan kami menulisnya di atasnya.’ Allah berfirman, ‘Dia tidak menginginkan WajahKu dengan amalnya.’ Lalu Allah memanggil dengan berfirman, ‘Tulislah untuk fulan begini dan begini’, dua kali. Malaikat berkata, ‘Ya Rabb, dia belum melakukannya.’ Allah berfirman, ‘Dia sudah berniat melakukannya’.”

Umar bin al-Khaththab  berkata,

“Sebaik-baik amal adalah menunaikan apa-apa yang Allah fardhukan, menjaga diri dari apa yang Allah haramkan, dan niat yang benar terhadap apa yang ada di sisi Allah.”

Sebagian dari mereka berkata, “Tunjukkan kepadaku sebuah amal yang akan senantiasa aku amalkan karena Allah.” Maka dikatakan kepadanya, “Niatkan kebaikan, karena dengan itu engkau senantiasa beramal walaupun tidak melakukan. Niat akan beramal walaupun tidak ada amal, karena barangsiapa berniat shalat malam lalu dia tidur, maka ditulis untuknya pahala niatnya sekalipun dia tidak melakukannya.”

Dalam hadits disebutkan,

مَا مِنْ رَجُلٍ يَكُوْنُ لَهُ سَاعَةٌ مِنَ اللَّيْلِ يَقُوْمُهَا، فَيَنَامُ عَنْهَا إِلَّا كُتِبَ لَهُ أَجْرُ صَلَاتِهِ، وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً تُصُدِّقَ بِهَا عَلَيْهِ.

“Tidaklah seorang laki-laki menyisihkan waktu di malam hari untuk berdiri shalat, lalu dia tertidur darinya, kecuali ditulis baginya pahala shalatnya, dan tidurnya adalah sedekah yang dianugerahkan untuknya (dari Tuhannya).”[6]  

Dalam hadits lain,

نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ.

“Niat seorang Mukmin lebih baik daripada amalnya.”[7]

Niat, keinginan, dan tujuan adalah ungkapan yang memiliki makna yang sama.

Perincian Amal-Amal yang Berkaitan dengan Niat

Ketahuilah bahwa amal-amal terbagi menjadi tiga:

Bagian Pertama: Kemaksiatan. Niat tidak mengubah keadaannya, seperti orang yang membangun masjid dengan uang haram dengan tujuan baik, niat baiknya tidak berpengaruh, karena tujuan baik dengan keburukan adalah keburukan baru, karena kebaikan hanya diketahui melalui syariat, lalu mana bisa keburukan menjadi kebaikan, sama sekali tidak mungkin!

Ketahuilah bahwa para penguasa yang mendekatkan diri kepada Allah dengan membangun masjid-masjid dan madrasah-madrasah dengan harta haram, seperti para ulama su` yang mendekatkan diri kepada Allah dengan mengajarkan ilmu kepada orang-orang bodoh dan para penjahat yang disibukkan dengan kefasikan. Bila mau mempelajari ilmu, maka mereka adalah para penyamun di jalan Allah, mereka hanya berambisi merebut dunia dan mengikuti hawa nafsu. Akibat buruk mereka kembali kepada siapa yang mengajari mereka, karena dia mengetahui buruk dan rusaknya niat mereka.

Termasuk dalam hal ini para tukang cerita mempelajari cerita-cerita, tujuan kebanyakan dari mereka sudah diketahui. Tujuan mereka adalah untuk mendapatkan dunia, mengambil harta bagaimana caranya, maka mengajari mereka sama dengan membantu kerusakan.

Engkau sudah mengetahui bahwa ketaatan bisa berubah menjadi kemaksiatan karena tujuan (niat). Adapun kemaksiatan, maka tidak bisa berubah menjadi ketaatan dengan niat sama sekali. Sebaliknya bila ada tujuan buruk yang digabungkan dengannya, maka dosanya berlipat dan akibat buruknya menjadi besar.

Bagian kedua: Ketaatan. Ia terikat dengan niat berkaitan dengan keabsahan dan keutamaannya yang berlipat ganda.

Berkaitan dengan keabsahan hendaknya seseorang meniatkannya sebagai ibadah kepada Allah tidak yang lain, bila niatnya adalah riya`, maka ia berubah menjadi kemaksiatan.

Dan berkaitan dengan keutamaan yang berlipat ganda, maka dengan banyaknya niat yang baik; karena satu ketaatan bisa diniatkan dengan kebaikan yang banyak, sehingga setiap niat yang bersangkutan mendapatkan pahala, karena setiap niatnya adalah kebaikan, kemudian setiap kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh.

Misalnya, duduk di masjid. Ini adalah ketaatan dan bisa diniatkan kebaikan yang banyak, di antaranya niat masuknya adalah menunggu shalat, beri’tikaf, dan menahan anggota badan, karena i’tikaf adalah menahan diri. Niat yang lain, menepis berbagai kesibukan yang memalingkan dari Allah dengan duduk di masjid, berdzikir kepada Allah dengan duduk di masjid tersebut, dan hal-hal yang sepertinya. Ini adalah jalan-jalan memperbanyak niat, maka silakan mengiaskannya pada ketaatan-ketaatan yang lain, karena tidak ada satu ketaatan pun kecuali mengandung banyak niat kebaikan.

Bagian ketiga: Hal-hal mubah. Tidak ada sesuatu yang mubah kecuali bisa diikuti dengan satu atau beberapa niat kebaikan, sehingga menjadi kebaikan yang mendekatkan kepada Allah dan dengannya yang bersangkutan meraih derajat tinggi. Betapa meruginya siapa yang melalaikannya dan sekadar melakukannya (tanpa diiringi niat kebaikan) seperti hewan.

Seorang hamba tidak patut meremehkan apa yang tebersit dalam hatinya, setiap langkah dan pandangan mata, semua itu akan ditanyakan tentangnya di Hari Kiamat, mengapa dia melakukannya dan apa tujuannya?

Misal dari sesuatu yang mubah dengan niat ibadah adalah menggunakan wewangian. Berniat dengan itu berarti mengikuti sunnah, menghormati masjid, menghilangkan bau tidak sedap yang mengganggu orang-orang di sekitarnya. Asy-Syafi’i berkata, “Barangsiapa harum aroma tubuhnya, maka akalnya akan bertambah (terang).”

Demikian juga merawat kepala dapat menambah kecerdikan dan memudahkannya untuk mengetahui hal-hal penting dalam agamanya. Sebagian as-Salaf berkata, “Sungguh aku sangat suka menghadirkan niat kebaikan pada segala urusanku hingga dalam makan, minum, tidur, dan masuk ke dalam WC.” Semua itu bisa dijadikan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah, karena segala sesuatu yang menjadi sebab badan yang sehat dan hati yang bersih, termasuk hal-hal penting dalam agama. Barangsiapa makan dengan tujuan menguatkan diri untuk beribadah, menikah dengan tujuan menjaga agamanya dan menghibur hati keluarganya, serta mendapatkan anak yang beribadah kepada Allah sesudahnya, maka dia mendapatkan pahala karena semua itu. Maka janganlah engkau meremehkan setiap perbuatan dan ucapanmu. Hisablah dirimu sebelum engkau dihisab. Luruskanlah niatmu sebelum engkau melakukan apa yang ingin engkau lakukan dan jangan lupa pula, perhatikanlah niatmu ketika meninggalkan suatu perkara.

 

Sumber: Mukhtashar Minhajul Qashidin, Pustaka Darul Haq


[1]     Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6689 dan Muslim, no. 1907; at-Tirmidzi, no. 1647 dan tercantum dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 1344; Ibnu Majah, no. 4227 dan tercantum dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 3405. Dan hadits ini juga bisa dilihat dalam Irwa` al-Ghalil, no. 22.

[2]     Takhrijnya telah disebutkan pada hal. 414, catatan kaki 398.

[3]     Keduanya diriwayatkan oleh Muslim, no. 1911 dan al-Bukhari, no. 2839 secara berurutan.

[4]     Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6491 dan Muslim, no. 131, dan hadits ini juga dapat dilihat dalam Shahih al-Jami’, no. 4306. Dan yang lebih lengkap akan disebutkan pada hal. 759, catatan kaki 664.

[5]     Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 17989, dan hadits ini tercantum dalam Shahih Ibnu Majah, no. 4228.

      (Seperti ini tertulis dalam kitab asli buku ini. Dan ini tidak tepat; hadits ini oleh Ibnu Majah, no. 4228 dan tercantum dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 3406, dan diriwayatkan juga oleh at-Tirmidzi, no. 2325. Ed.).

[6]     Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 24333: dari hadits Aisyah i; juga Ibnu Majah, no. 1344, dan hadits ini tercantum dalam Shahih Ibnu Majah, no. 1105 dengan riwayat semakna dari hadits Abu ad-Darda` y.

[7]     Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan ath-Thabrani dari Sahl bin Sa’ad, dan hadits ini tercantum dalam Dha’if al-Jami’ ash-Shaghir wa Ziyadatuh, no. 5076, 5077.

Loading

Home
Akun
Order
Chat
Cari