Para ulama tidak berbeda pendapat bahwa menikah dianjurkan,[1] didorong kepadanya, banyak mengandung keutamaan dan mendatangkan faedah-faedah:
Di antaranya adalah melahirkan anak, karena salah satu tujuan menikah adalah menjaga keturunan. Ia mengundang kecintaan Allah [Islamic phrases=”Azza wa Jalla'”]D[/Islamic] karena usaha untuk memenuhinya agar jenis manusia tetap ada. Di dalamnya juga mengundang cinta Rasulullah dengan memperbanyak umat yang karena itu beliau berbangga. Di dalamnya juga mengandung keberkahan melalui doa anak shalih dan syafa’at dari anak bila dia mati saat masih kecil.
Di antara faedah menikah adalah menjaga diri dari setan dengan menepis dorongan hawa nafsu, menenangkan jiwa dan menenteramkannya dengan bergaul dengan istri.
Di antaranya, melapangkan hati dari kesibukan mengurus rumah, tidak perlu memasak, menyapu rumah, membersihkan tikar, mencuci piring dan menyediakan fasilitas hidup di rumah sendiri, karena kebanyakan dari hal-hal ini sulit dilakukan oleh seseorang bila dia sendiri, seandainya dia sendiri yang melakukannya maka waktunya banyak terbuang untuk itu, akibatnya waktu bekerjanya dan waktu untuk ilmu menyempit. Wanita shalihah adalah pembantu dalam urusan agama dari sisi ini, karena perbedaan sebab-sebab ini merupakan kesibukan tersendiri bagi hati.
Di antara faedahnya, melatih jiwa, mendidiknya untuk memperhatikan dan memimpin, menunaikan hak-hak keluarga, bersabar atas akhlak mereka, sabar menghadapi keburukan mereka, berusaha memperbaiki mereka, membimbing mereka ke jalan agama, bersungguh-sungguh dalam mencari harta yang halal untuk mereka, serta mendidik anak-anak. Semua perbuatan ini adalah perbuatan yang memiliki keutamaan besar, karena ia adalah pengayoman dan kepemimpinan. Keutamaan memperhatikan keluarga adalah besar, yang menolak memikulnya hanyalah orang yang takut tidak bisa menunaikannya dengan sebaik-baiknya, padahal memikul beban berat keluarga dan anak-anak adalah ibarat jihad di jalan Allah [Islamic phrases=”Azza wa Jalla'”]D[/Islamic].
Dalam Shahih Muslim dari Nabi [Islamic phrases=”Shallallahu ‘alaihi wa Sallam”]H[/Islamic] bahwa beliau bersabda,
دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِيْ رَقَبَةٍ، وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَفْضَلُهَا الَّذِيْ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ.
“Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk (memerdekakan) sahaya, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin dan dinar yang engkau infakkan kepada keluargamu; yang paling utama darinya adalah yang engkau infakkan kepada keluargamu.”[2]
[1] (Editor terjemah menambahkan: Ini dikoreksi oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabi, beliau berkata, “Justru hukumnya wajib berdasarkan dalil sabda Nabi [Islamic phrases=”Shallallahu ‘alaihi wa Sallam”]H[/Islamic],
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ….
“Hai sekalian anak-anak muda! siapa di antara kalian yang sudah mampu jimak, maka hendaklah ia menikah….” Diriwayatkan oleh al-Bukhari, 4/106; dan Muslim, no. 1400; Abu Dawud, no. 2046; at-Tirmidzi, no. 1081; dan an-Nasa`i, no. 4/169: dari Abdullah bin Mas’ud y. Kata mereka (para ulama), ‘Ini adalah perintah, dan perintah itu menunjukkan wajib kecuali ada qarinah yang membelokkannya dari makna wajib dan di sini tidak ada qarinah‘.” Lihat ta’liq beliau atas Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, hal. 99).
[2] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 995: dari Abu Hurairah [Islamic phrases=”Radhiyallahu ‘anhu”]I[/Islamic] dengan lafazh, أَعْظَمُهَا أَجْرًا (Yang paling besar pahalanya) sebagai ganti, أَفْضَلُهَا (Yang paling utama di antaranya.”
Sumber : Mukhtashar Minhajul Qashidin; Meraih Kebahagiaan Hakiki Sesuai Tuntuna Ilahi