Sumber : Mukhtashar Minhajul Qashidin; Meraih Kebahagiaan Hakiki Sesuai Tuntunan Ilahi
Pertama: Menyucikan lahir dari hadats, najis, dan kotoran.
Kedua: Menyucikan anggota tubuh dari dosa dan kemaksiatan.
Ketiga: Menyucikan hati dari akhlak tercela dan sifat buruk.
Keempat: Menyucikan hati (niat yang tersembunyi) dari selain Allah.
Yang akhir inilah tujuan tertinggi. Barangsiapa bashirah (mata hati)nya kuat, niscaya ia dapat meraihnya. Barangsiapa yang bashirahnya buta, maka dia hanya memahami tahapan thaharah yang pertama saja. Engkau bisa melihatnya menghabiskan banyak waktunya yang mulia hanya untuk beristinja` dan mencuci baju secara berlebih-lebihan, karena dia mengira –padahal itu hanyalah was-was dan kurangnya ilmu- bahwa thaharah yang dituntut hanyalah thaharah seperti ini. Dia tidak mengetahui sirah orang-orang terdahulu yang menghabiskan waktu mereka dalam rangka menyucikan hati dan bersikap gampang dalam urusan lahir. Sebagaimana diriwayatkan dari Umar bahwa beliau pernah berwudhu dari bejana milik seorang wanita Nasrani.[1] Mereka hampir tidak mencuci tangan mereka dari sisa makanan, mereka shalat di atas tanah, berjalan tanpa alas kaki dan beristijmar (bersuci dari buang hajat) hanya dengan batu saja.
Kondisi saat ini sudah sampai pada suatu kaum yang mereka menamakan kebodohan sebagai kebersihan, engkau melihat banyak waktu mereka habis dalam rangka memperbagus lahir, sedangkan batin mereka lapuk berlumut kesombongan, bangga diri (ujub), kebodohan, riya` dan kemunafikan yang paling busuk. Seandainya mereka melihat orang yang hanya beristijmar dengan batu, atau berjalan di atas tanah tanpa alas kaki, atau orang yang shalat di atas tanah tanpa alas, atau berwudhu dari gerabah, niscaya mereka akan mengingkarinya dengan keras, menjulukinya dengan orang kotor dan menolak makan bersamanya. Lihatlah bagaimana mereka menjadikan kesederhanaan yang merupakan bagian dari iman,[2] sebagai kotoran dan kebodohan sebagai kebersihan, membalik perkara, yang mungkar menjadi ma’ruf dan yang ma’ruf menjadi mungkar. Tetapi barangsiapa yang maksudnya dalam bersuci adalah kebersihan tanpa boros air, tidak meyakini bahwa menggunakan banyak air adalah dasar agama, maka perbuatan itu bukan merupakan kemungkaran, sebaliknya ia adalah perbuatan baik. Silakan merujuk buku-buku fikih bila Anda ingin mengetahui hadats dan najis, karena tujuan buku ini adalah adab dan perilaku.
[1] Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq sebelum no. 193 dan diriwayatkan oleh al-Baihaqi secara maushul, 1/32.
(Editor terjemah menambahkan: Riwayat tentang Umar yang pernah ber-wudhu dari bejana milik seorang perempuan Nasrani ini ditakhrij oleh Syaikh al-Allamah Dr. Shalih Ali asy-Syaikh dalam at-Takmil Lima Fata Takhrijuhu min Irwa` al-Ghalil, hal. 15, beliau berkata, “Diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi’i dalam al-Umm, 1/7 (Bulaq), dan dari jalan asy-Syafi’i diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dalam al-Mu’jam al-Ausath, 1/314 dan al-Baihaqi dalam Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsar, 1/252 dan juga dalam as-Sunan al-Kubra, 1/32…, dan sanadnya, zahirnya adalah shahih berdasarkan syarat al-Bukhari dan Muslim, karena Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits dengan sanad yang sama dalam Kitab al-Jihad, 6/123 dan juga Imam Muslim dalam Kitab al-Hibah, 3/1239 (cet. Muhammad Fu`ad Abdul Baqi). Akan tetapi al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fath al-Bari, 1/299, ‘Hadits ini tidak didengar langsung oleh Ibnu Uyainah dari Zaid bin Aslam, al-Baihaqi meriwayatkannya dari jalan Sa’dan bin Nashr, darinya, dia berkata, Mereka menuturkan kepada kami dari Zaid bin Aslam dan saya sendiri tidak pernah mendengarnya dari Zaid bin Aslam, lalu beliau menyebutkannya secara panjang lebar. Dan al-Isma’ili meriwayatkannya dari jalan lain darinya dengan rawi perantara. Al-Isma’ili berkata, Dari Ibnu Zaid bin Aslam dari bapaknya. Dan anak-anak Zaid adalah: Abdullah, Usamah, dan Abdurrahman, dan yang paling tsiqah di antara mereka adalah yang paling besar yaitu Abdullah, dan saya kira dia inilah yang darinya Ibnu Uyainah mendengar hadits ini’. Demikian al-Hafizh. Dan berdasarkan ini maka atsar Umar ini sanadnya shahih, dan karena itulah Imam al-Bukhari meriwayatkannya secara mu’allaq tetapi dengan shighat jazam, 1/298.” Dikutip dengan sedikit diringkas).
[2] Kesederhanaan di sini maksudnya adalah tawadhu’ dalam berpakaian, mem-buang kesombongan dan saling berbangga. اَلْبَذَاذَةُ مِنَ الْإِيْمَانِ (Kesederhanaan termasuk iman) adalah sebuah hadits, silakan melihat Shahih al-Jami’, no. 2879, cetakan al-Maktab al-Islami.